-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Balada Seorang Narapidana (Bagian 88)

Selasa, 29 Maret 2022 | Selasa, Maret 29, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-04-30T06:28:50Z


Oleh, Dalem Tehang


KOK jalannya sambil ngelamun gitu, Be. Apa sih yang lagi dipikirin,” kata Pepen, yang ternyata berdiri di dekat jeruji besi dan sejak lama sudah memperhatikan aku yang berjalan kembali ke kamar.


Aku hanya tersenyum. Sulit untuk mengurai alam pikir dan rasa yang tengah menggeliat di khalwat batin ini. Yang lahir meningkahi fakta di depan mata. Namun tidak kuasa berbuat apa-apa. Selain mengurut dada. Saking nelongsonya.


Selepas solat Dhuhur berjamaah, sambil makan siang bersama, aku ceritakan tentang pilihan tahanan baru yang akan masuk kamar kami. Tiga orang tersangkut kasus perampokan, dan satu orang berkasus penggelapan mobil rental.


“Terus berapa uang penempatan kamar yang dikasih ke kepala blok buat rokok, Be?” tanya Nedi. 


“Waktu kamu sama Atmo kemarin, masing-masing cepek. Ya nanti juga segitu aja per-orang,” kataku.


“O gitu, jadi sebenernya kami masuk kamar 10 ini karena Babe emang nariknya ya. Tapi kok kami nggak diminta tambahan yang cepek uang penempatan kamar itu, Be,” sela Atmo. Terheran.


“Makanya sekarang dikasih tahu sama Babe, Atmo. Jadi, kamu sama Nedi itu nggak gratisan masuk kamar ini. Nah, karena sudah tahu, ya bayar masing-masing cepek. Karena Babe juga waktu itu ngeluarin uang kas kamar,” jelas Asnawi.


“Siap. Maaf ini, Be. Sebenernya aku juga heran, kok nggak dimintain uang penempatan kamar. Yang ada malah uang buat kebutuhan kita di kamar aja. Pengalamanku keluar-masuk bui, ya emang ada uang penempatan kamar itu,” kata Nedi sambil nyengir.


“Ya sudah, nggak usah didebatin soal ginian. Kalau sudah paham, kasih uangnya ke bendahara kamar. Atmo, karena kamu bendahara, bayaranmu catet sendiri sama kamu,” ucapku menengahi. 


Pintu kamar sel dibuka tamping. Tiga orang pekerja dengan kaos seragam warna biru sudah berdiri di depan kamar. Segera melanjutkan pekerjaannya. Kami pun keluar kamar. Kecuali Arya dan Irfan yang memang bertugas mendampingi pekerja. 


Aku lihat Bagus berdiri di dekat pos penjagaan. Mengobrol dengan mandor tukang. Ia memberi isyarat untuk aku segera bergabung. Kembali menjalankan tugas mengawasi pekerja dan tahanan selama renovasi kamar dilakukan. 


Bagus mengajak aku mengecek setiap kamar yang sedang dilakukan renovasi. Cukup rapih dan kami yakini bisa selesai dalam satu hari ini.  


“Rapih dan cepet kerja mereka ya, Be. Lagian mereka nggak banyak ngobrol kerjanya,” kata Bagus, saat kami keluar dari kamar 6. Mengecek hasil kerja para tukang.


“Iya, rapih emang hasil kerjanya. Cuma jangan buat kita jadi kurang serius ngawasinnya, Gus. Kalau ada yang sampai kurang rapih hasilnya, pasti kita duluan yang kena marah sama pak Rudy,” ujarku menyahuti.


“Siap, Be. Maka bener kata Babe, suruh kepala kamar tanggungjawab sama kamarnya masing-masing. Biar mereka yang protes langsung kalau hasil kerjaan tukang nggak rapih,” tanggap Bagus.


Seorang tamping mendatangi kami yang akan masuk ke kamar 8. Memberitahu jika kami dipanggil ke pos penjagaan.


Saat kami sampai di pos, tampak ada tujuh orang tahanan baru yang telah memakai celana pendek, berkaos dan membawa bungkusan pakaian masing-masing. Dikawal tiga petugas berpakaian dinas dan preman.


“Kami data dan lakukan pemeriksaan dulu, setelah itu kalian kasih penjelasan di samping pos,” kata seorang petugas piket kepada kami berdua. 


Aku tarik Bagus ke sudut depan kamar 1. Ku beritahu jika empat dari tujuh tahanan baru itu akan masuk ke kamar 10. Yaitu yang tersangkut kasus perampokan tiga orang, dan satu orang kasus penggelapan mobil rental. 


“Kenapa rampok semua yang Babe mauin masuk kamar 10 sih? Kan ada juga yang kasus curanmor?” tanya Bagus. Ada kernyitan di dahinya. Wujud keheranan dengan pilihanku.


“Biar seru aja, Gus. Tukang rampok berkumpul di kamarku,” sahutku sambil tersenyum lepas.


“Jangan bercanda sih, Be. Serius ini, kenapa bukan yang curanmor, jadi yang satu orang kasus perampokan ke kamar lain. Kalau yang narkoba, nanti bergabung di kamarku,” lanjut Bagus.


“Jujur ya, Gus. Kawan-kawan di kamarku trauma sama yang kasus curanmor. Nanti bakal jadi sasaran amukan petugas kalau mereka lagi sawan. Jadi aku ngelobi, nolak yang kasus curanmor sama cabul masuk ke kamar kami,” uraiku.


Bagus menganggukkan kepalanya. Tampak ia memahami apa yang menjadi pilihan kami. Meski sebagai tahanan, sesungguhnya, sama sekali kami tidak mempunyai kewenangan mengatur penempatan tahanan baru.


“Nyambung aku kalau gitu alasannya, Be. Tapi Babe sudah koordinasiin sama petugas apa belum,” ucap Bagus, memandangku dengan serius.


“Sudah, tadi aku sampein sama petugas. Mereka juga paham. Yang penting saling pengertian aja,” kataku.


“Terus soal uang penempatan kamarnya kayak mana, Be?” tanya Bagus lagi.


“Ya ada dong, Gus. Nanti malem diserahin sama kamu. Satu orang cepek, jadi nanti Rp 400.000 yang dikasihin ke kamu,” jelasku.


“Kok cuma cepek, Be? Kan nopek?” sela Bagus dengan wajah serius.


“Khusus yang masuk kamar 10, cukup cepek, Gus. Dan ini sudah jalan dari jaman Gustav masih kepala blok, setelah aku jadi kepala kamar,” kataku mengurai.


“O gitu, Be. Berarti aku naikin yang masuk kamar lain. Masing-masing jadi Rp 300.000,” sahut Bagus.


“Soal itu terserah kamu aja. Kan kamu kepala bloknya,” ucapku sambil mengangkat bahu dan tersenyum.


“Ah, Babe mah sering bikin urusan dan nambah-nambah kerjaan orang aja lo. Tapi ya sudahlah. Mau kayak mana lagi,” balas Bagus sambil memukul bahuku, dan juga tersenyum.


“Nah gitu dong. Sepemahaman itu indah lo, Gus,” sambungku dengan tetap tersenyum, dan mengajaknya kembali mendekat ke pos penjagaan.


Satu demi satu dari tujuh orang tahanan baru itu aku perhatikan. Rata-rata berusia 50 tahunan. Berbadan kekar-kekar, dan beberapa di antaranya bertato. Hanya ada dua orang yang masih berumur 30 tahunan.


“Gagah-gagah yang masuk sekali ini ya, Be,” ucap Bagus, berbisik ke telingaku. Aku hanya menganggukkan kepala.


“Baru sip ini, Gus. Kita buat pasukan sendiri ke depannya,” sahutku sambil tersenyum.


“Maksudnya, Be?” tanya Bagus sambil menatapku lekat-lekat.


“Iya, kita buat pasukan dari sini. Sampai nanti di rutan atau lapas dan lanjut setelah bebas. Jangan sia-siain pertemuan kita disini cuma selesai gitu aja. Karena kita punya cerita kehidupan di penjara ini bukan kebetulan aja,” kataku kemudian.


“Ya terserah Babe aja-lah. Aku ikut aja. Yang penting buat Babe tahu, aku emang pengen tetep bersahabat sama Babe sampai kapan aja,” sahut Bagus, berpasrah.


“Terimakasih kalau gitu, Gus. Berarti kamu paham maksudnya ngebentuk pasukan itu,” kataku sambil menepuk bahunya. (bersambung)

×
Berita Terbaru Update