Materi ini di buat untuk Acara Makesta ( Masa Kesetiaan Anggota ) IPNU ( Ikatan Pelajar Nahdlatul 'Ulama ) dan IPPNU ( Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul 'Ulama ) Kecamatan Tulang Bawang Barat |
Sebelum Indonesia Merdeka
Secara singkat, Indonesia dijajah dimulai dari Portugis saat pertama tiba di Malaka pada tahun 1509. Di saat itu Portugis menguasai Malaka berhasil pada 10 Agustus 1511 dalam pimpinan Alfonso de Alburquerque.
Setelah menguasai area Malaka penjelajahan Portugis yang ingin menguasai Indonesia ke Ternate dan Madura. Untuk bangsa Indonesia melakukan berbagai perlawanan terhadap Portugis. Salah satu perlawanan yang menonjol adalah dari Fatahillah berasal dari Demak dan berhasil merebut Sunda Kelapa dari Portugis.
Sebelum Indonesia merdeka secara singkatnya pada saat masa penjajahan portugis beakhir pada tahun 1602 setelah Indonesia di masuki oleh Belanda. Belanda masuk Indonesia, Banten dalam pimpinan Cornelis de Houtman.
Pada saat itu Belanda berkeinginan membentuk VOC yang menguasai rempah-rempahan Indonesia pada tahun 1602. Karena pasar dikuasai oleh tionghoa dan inggris kantor VOC berpindah ke Sulawesi Selatan. Di Sulawesi Selatan sendiri VOC mengalami dapat perlawanan menjadi dari Sultan Hasanudin.
Berbagai perjanjian dibuat yang salah satunya adalah perjanjian Bongaya. Akan tetapi Sultan Hasanudin pun melanggar perjanjiannya dengan Belanda. Setelah itu mereka berpindah-pindah tempat sampai Yogyakarta. Di Yogyakarta, VOC menandatangai Perjanjian Giyanti yang isinya “Belanda mengakui mengkubumi sebagai Sultan Hamengku Buwono yang pertama”.
Perjanjian ini nembuat pecah kerajaan Mataram yang sampai sekarang menjadi Kasultanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Maka dari itu VOC di bubarkan pada 1 Januari 1800 setelah Belanda kalah dari Perancis.
Pada masa itu, usai VOC dibubarkan, penjajahan Belanda tidak berhenti sampai situ saja. Belanda sendiri menunjuk Herman William Daendels sebagai gubernur jendral Hindia-Belanda. Pada masanya, masyarakat Indonesia di paksa untuk bekerja membuat jalan dari Anyer-Panarukan.
Masa ia juga tidak lama, ia digantikan oleh Johannes van den Bosch. Ia menerapkan sistem tanam paksa. Sistem tanam paksa ini tiap desa diharuskan menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanami komoditas ekspor khususnya tebu, nila dan kopi. Hasil nya akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah di pastikan sebelumnya sebanyak 20% dan hasil panen di serahkan kepada pemerintah kolonial.
Belanda menguasai Indonesia selama 350 tahun, pemerintahan Belanda di Indosia digantikan oleh Jepang. Pada saat Belanda menyerang, mereka menyerah tanpa syarat kepada Jepang dengan melakukan perjanjian Kalijati pada tanggal 8 Maret 1942. Masa pendudukan Jepang ini selama 3,5 tahun dengan rentan waktu pada tahun 1942 dan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pada saat Indonesia yang akan bangkit dari penjajahan yang terus menerus di Indonesia. Dari Jepang sendiri selama memerintah membentuk beberapa organisasi. Organisasi yang dibuat Jepang salah satunya adalah PETA ( Pembela Tanah Air), PUTERA, Heiho (tentara pembantu) dan lain-lain.
Pemerintahan Jepang di Indonesia berakhir setelah Jepang kalah dari tentara sekutu pada saat Perang Dunia II. Dua kota di Jepang Hirosima dan Nagasaki di bom oleh tentara sekutu. Setelah mendengar adanya kekalahan Jepang, dibentuklah sebuah badan yakni BPUPKI atau Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Dr. Radjiman Widyodiningrat.
Nama BPUPKI atau menjadi PPKI atau Dokuritsu Junbi Inkahi untuk lebih mengesakan keinginan Indonesia merdeka. Soekarno-Hatta selaku pemimpin PPKI dan Dr. Radjiman Widyodiningrat selaku mantan ketua BPUPKI diterbangkan ke Dalat, Vietnam untuk bertemu Marsekal Teauchi.
Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jeapng sedang diambang kekalahan dan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia.
Namun pada tanggal 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar kekalahan Jepang melalui radio republik Indonesia (RRI). Para pejuang bawah tanah siap-siap untuk memproklamasikan kemerdekaan RI, dan menolak kemerdekaan RI sebagai hadiah dari Jepang.
Saat Soekarno-hatta dan Radjiman pulang ke Indonesia, sutan syahir mendesak agar cepat dilakukan proklamasi kemerdekaan. Soekarno belum yakin Jepang telah menyerah, dan Hatta menjelaskan bahwa syahrir tidak berhak memproklamasikan karena akan menjadi bagian penting hak PPKI.
Setelah mendengar kekalahan Jepang pada tanggal 14 Agustus 1945, golongan muda mendesak agar golongan tua cepat melakukan proklamasi kemerdekaan. Namun, golongan tua tidak ingin terburu-buru, mereka tidak mau pertumpahan darah di Indonesia terjadi.
Soekarno-Hatta dan Achmad Soebardjo mendatangi rumah Laksamana Maeda membicarakan tentang kemerdekaan RI. Pagi hari sekitar jam 10 pagi tepat pada 16 Agustus 1945 Soekarno tidak muncul jadi tidak bisa di laksanakan proklamasi.
Peserta rapat sendiri tidak tahu atas terjadinya peristiwa yang menimpa mereka yaitu peristiwa Rengasdengklok adalah peristiwa penculikan terhadap Soekarno dan Hatta oleh golongan muda untuk mempercepat pelaksanaan proklamasi. Setelah kembali ke Jakarta sepulangnya dari Rengasdengklok, Soekarno dan Hatta menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda yang dibantu oleh Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro dan Sajuti Melik.
Setelah konsep selesai, Sayuti Melik mengetik naskah tersebut. Teks tersebut akhirnya di bacakan pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945. Pada awalnya pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke Jalan Pegangsaan Timur 56, kediaman Soekarno.
Setelah Indonesia Merdeka
Tanggal 18 Agustus 1945, anggota PPKI atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengambil keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar negara Republik Indonesia yang masyarakat kenal sebagai UUD 45.
Lalu terbentuklah pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia berbentuk Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR. Setelah itu Soekarno dan M. Hatta terpilih sebagai Presiden dan wakil Presiden Indonesia yang pertama kalinya.
Di usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan dari PPKI. Indonesia memiliki wilayah yang bisa di bilang luas, transportasi dan komunikasi sekitar tahun 1945 masih sangat terbatas. Larangan dan hambatan untuk menyebarkan berita proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia merupakan faktor yang menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di berbagai daerah.
Penyebaran proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 dilakukan secara cepat dan menyebar secara luas. Pada saat itu juga teks proklamasi telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei atau Kantor Berita ANTARA.
Baru dua kali F. Wuz menyiarkan, tiba-tiba masuk orang Jepang ke ruangan radio tersebut pada saat di umumkan dan marah karena telah mengetahui berita proklamasi telah tersiar ke luar. Akibat penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa memerintahkan untuk harus ralat berita dan menyatakan sebagai adanya kekeliruan. Pada tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel Jepang para pegawainya pun di larang masuk.
Namun sekalipun pemancar pada kantor Doimei disegel, para pemuda bersama Jusuf Ronodipuro yaitu seorang pembaca berita di Radio Domei membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng 31. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi kemerdekaan disiarkan secara luas.
Selain lewat radio, yang di lakukan para pemuda dalam menyebarkan berita proklamasi juga dilakukan melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh koran harian di Jawa yang penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945 memuat berita proklamasi kemerdekaan dan UUD 1945. Koran yang pertama kali memuat berita proklamasi adalah Harian Suara Asia yang berada di Surabaya.
Proklamasi kemerdekaan juga disebarluaskan kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada dinding tembok, dengan tulisan dalam bahasa Indonesia adalah Hormatilah Konstitusi kami tanggal 17 Agustus!.
Usaha tersebut tidak sia-sia pada akhirnya berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas di berbagai wilayah Indonesia dan sampai keluar negeri. Selain melalui media massa, berita proklamasi juga disebarkan oleh para utusan daerah secara langsung pelosok negri yang menghadiri sidang PPKI
Peran Nahdlatul Ulama (NU) dalam Memperjuangkan Kemerdekaan Indonesia
Peran NU pada Masa Awal Pendirian
Dalam perjalanannya, NU memainkan peranan yang cukup besar bagi bangsa Indonesia. Pada masa-masa awal setelah didirikan saja, NU sudah melakukan berbagai upaya untuk memajukan masyarakat Indonesia. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memajukan bidang pendidikan dengan mendirikan banyak madrasah dan pesantren.
Metode pengajaran dan kurikulum yang digunakan sebagian besar merupakan perpaduan dari pengetahuan agama dan pengetahuan umum. NU juga mendirikan Lembaga Ma’arif pada tahun 1938 guna mengkoordinasi kerjasama dalam kegiatan pendidikan.
NU juga mulai mengembangkan perekonomian masyarakat dengan mendirikan koperasi pada tahun 1929 di Surabaya. Koperasi ini sangat berperan dalam penjualan barang dan mengorganisis barter dalam masyarakat. Koperasi yang didirikan NU ini semakin berkembang hingga akhirnya pada tahun 1937 jangkauannya semakin luas dan dibentuklah Syirkah Mu’awanah.
Peran NU Masa Pemerintahan Jepang
Peran NU tidak berhenti sampai di situ, sejak kedatangan jepang, peran NU semakin diperhitungkan. Jepang yang kala itu sedang membutuhkan basis massa untuk membantu Jepang dalam Perang Pasifik, akhirnya Jepang melakukan mobilisasi terhadap rakyat pedesaan di Indonesia. Sementara kaum ulama dan kiai diberikan jabatan resmi agar mau membantu Jepang. Misalnya saja dengan menjadikan Hasyim Asy’ari sebagai ketua Shumubu (Kepala Kantor Urusan Agama).
NU juga memainkan perannya dalam organisasi Masyumi bentukan Jepang. Sebagian besar tokoh NU dijadikan pengurus, seperti Hasyim Asy’ari yang diangkat sebagai ketua pertama Masyumi, dan juga Wahab Chasbullah yang diangkat sebagai Penasehat Dewan Pelaksana. Selain itu puluhan ribu anggota NU juga dilatih secara militer dalam PETA (Pembela Tanah Air).
Tokoh NU juga terlibat sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) sehingga terlibat langsung dalam perumusan pernyataan kemerdekaan. Kebijakan Jepang tersebut mau tak mau menarik sejumlah anggota NU ke ranah politik.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Kemerdekaan (1945-1959)
Mengeluarkan Resolusi Jihad
Kegiatan politik NU semakin kental pada masa kemerdekaan. Hal ini ditunjukkan pada Muktamar NU di Surabaya tanggal 22 Oktober 1945. Dalam muktamar tersebut, NU mengeluarkan “Resolusi Jihad” yang menyatakan bahwa perjuangan untuk merdeka adalah Perang Suci (jihad).
Resolusi ini berarti bahwa penolakan terhadap kembalinya kekuatan kolonial yang mengakui kekuasaan suatu pemerintah republik baru sesuai dengan Islam. Resolusi jihad ini juga terbukti dengan penentangan NU terhadap beberapa perjanjian dan konsesi diplomatic yang diadakan pemerintah seperti Perjanjian Renville (1946), Perjanjian Linggarjati (1948) dan juga Konferensi Meja Bundar atau KMB (1949).
NU dalam Tubuh Masyumi
Pada tanggal 3 November 1945, pemerintah mengeluarkan Maklumat No. X yang berisi anjuran tentang berdirinya partai-partai politik. Umat Islam dengan segera menyambut bahagia adanya keputusan tersebut, sehingga tanggal 7 November dibentuklah Masyumi. Sementara NU yang telah berdiri sebelumnya sebagai jam’iyah kemudian bergabung dengan Masyumi pasca mengadakan Muktamar NU XVI di Purwokerto tahun 1946.
Bergabungnya NU dalam Masyumi menjadi pengalaman berharga bagi NU. Ia mulai mengalami liku-liku politik, sesuatu yang baru bagi NU. Menurut NU, politik dapat dijadikan media untuk memperluas peran ulama.
Tokoh NU, Hasyim Asy’ari diangkat sebagai Ketua Umum Majelis Syuro (Dewan Penasehat Keagamaan). Sementara tiga tokoh NU lainnya menduduki jabatan menteri sebagai wakil Masyumi, yakni Wahid Hasjim, Masjkur, dan K. H. Fathurrahman Kafrawi. Tokoh lainnya yang juga berkiprah di pemerintahan adalah Wahab Chasbullah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung.
Majelis Syuro ini memiliki peran yang sangat penting dalam tubuh Masyumi, antara lain yang tercantum dalam anggaran rumah tangga di bawah ini:
Majelis Syuro berhak mengusulkan hal-hal yang bersangkut paut dengan politik kepada pimpinan partai.
Dalam soal politik yang bersangkut paut dengan masalah hukum agama, maka pimpinan partai meminta fatwa dari majelis Syuro.
Keputusan Majelis Syuro mengenai hukum agama bersifat mengikat pimpinan partai .
Jika muktamar/ dewan partai berpendapat lain daripada keputusan Majelis Syuro, maka pimpinan partai dapat mengirimkan utusan untuk berunding dengan Majelis Syuro dan hasil perundingan itu merupakan keputusan tertinggi.
NU sebagai Partai Politik
Hubungan antara Masyumi dengan NU berubah pada 1952, yang mana NU memutuskan untuk keluar dari Masyumi dan mendirikan partai politik sendiri. Keputusan untuk keluar dari Masyumi yang diambil oleh NU ini dibarengi dengan penyampaian beberapa amanat kepada pengurus, yakni:
Pelaksanaan keputusan tersebut agar jangan sampai menimbulkan kegoncangan di kalangan umat Islam,Pelaksanaan keputusan tersebut dilakukan dengan perundingan terlebih dahulu dengan Masyumi, dan Keputusan ini dijalankan dalam gubungan yang lebih luas yang berkenan adanya keinginana untuk membentuk dewan pimpinan umat Islam yang nilainya lebih tinggi, dimana partai-partai dan organisasi-organisasi Islam baik yang sudah maupun belum tergabung dalam Masyumi dapat berkumpul dan berjuang bersama-sama.
Pasca meninggalkan Masyumi dan menjadi sebuah partai politik, NU dihadapkan pada kekurangan tenaga terampil. Untuk mengatasi hal ini, maka direktrutlah beberapa tokoh yang dianggap mumpuni seperti H. Jamaluddin Malik, K.H. Idham Chalid, dan beberapa tokoh lainnya.
Selain itu NU juga mengambil langkah untuk membentuk sebuah fraksi tersendiri di parlemen. Parlemen tersebut beranggotakan 8 orang anggota NU, yakni: K.H.A. Wahab Hasbullah, K.H.M. Ilyas, M. Sholeh Suryaningprojo, M. Ali Prataningkusumo, A.A. Achsin, K.H. Idham Chalid, As. Bamid, Zainul Arifin (yang kemudian digantikan oleh Saefud din Zuhri).
Selanjutnya NU memainkan peranannya dalam membentuk kabinet. Sebagai partai politik yang terbilang baru, NU berusaha memperkuat posisi umat Islam di parlemen dan kabinet.
NU Membentuk Liga Muslimin Indonesia
NU menjalin persatuan yang bersifat federatif dengan PSII, Perti dan juga Darud Da’wah wal-Irsyad (DDI) dalam wadah yang disebut Liga Muslimin Indonesia. Liga ini dibentuk tanggal 30 Agustus 1952 dengan tujuan “untuk mencapai masyarakat islamiyahyang sesuai dengan hukum Allah Swt dan sunnah Rasul”.
Untuk mencapai tujuan tersebut, ditetapkan pula usaha yang akan dilakukan Liga Muslimin Indonesia yakni rencana bersama dan menghimpun organisasi Islam yang ada, memajukan dan mengadakan aksi bersama serta akan mengadakan kongres Islam Indonesia. namun demikian federasi ini tidak terlalu berpengaruh sebab, antara partai yang tergabung di dalamnya seringkali berbeda pendapat dan menjalankan kepentingannya masing-masing.
NU dalam Pemilu 1955
Dalam rangka mempersiapkan pemilu tahun 1955, NU mengadakan Muktamar Alim Ulama se Indonesia pada tanggal 11-15 April 1953 di Medan. Dalam muktamar tersebut diputuskan wajib hukumnya bagi umat Islam untuk mengambil bagian dalam pemilu, baik untuk anggota DPR maupun Konstituante. Pada pemilu 1955, partai NU mendapatkan 6.955.141 suara dan mendapat bagian 45 kursi di parlemen.
Suara besar yang diperoleh NU dalam pemilu ini tidak lain karena basis pendukung NU yang sangat kuat, terutama di pedesaaan. Selain itu NU juga mengubah strategi kampanyenya yang awalnya memiliki slogan yang senada dengan Masyumi, namun pada perkembangannya agak diubah dengan juga menggandeng PNI. Pasca pemilu, terbentuklah Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Ali – Roem – Idham), yang mana merupakan gabungan dari ketiga partai yakni Masyumi (Muhammad Roem), PNI (Ali sastroamidjojo), dan NU (Idham Chalid).
Melalui pemilu 1955, NU berhasil mencapai sasaran yang ditetapkan pada 1952 yakni menggerakkan masyarakat tradisional untuk menyatakan aspirasi sosial dan keagamaannya sehingga Islam tradisional mampu mendapat tempat di tengah-tengah kehidupan berbangsa. Partai ini juga berhasil melembagakan peran ulama dalam sebuah negara melalui keberadaannya dalam parlemen dan keberhasilannya menguasai Departemen Agama.
Menumpas Gerakan PRRI
NU juga mengungkapkan bahwa gerakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PPRI) yang didukung oleh tokoh senior Masyumi harus segera ditumpas. Menurut NU, gerakan PPRI dianggap telah menyalahi perintah Alquran untuk mematuhi perintah Allah Swt, Nabi Muhammad saw, dan pemimpin mereka (Q.S. An-Nisaa’: 59).
Menerima UUD 1945 sebagai konstitusi
Majelis konstituante yang berhasil dibentuk dari pemilu tahun 1955 nyatanya belum mampu menghasilkan konstitusi baru untuk Indonesia. Oleh sebab itu terjadilah ketegangan antar fraksi di pemerintah. Melihat kondisi demikian, NU kemudian mengadakan sidang Dewan Partai di Cipanas, Bogor tanggal 26-28 Maret 1958. Pada pertemuan tersebut NU bersepakat untuk menerima UUD 1945 RI sebagai konstitusi dengan pengertian bahwa Piagam Jakarta menjiwai UUD tersebut.
Keputusan NU ini disampaikan kepada pemerintah, kemudian pemerintah menyampaikannya kepada Majelis Konstituante pada tanggal 22 April 1959. Namun sayangnya sebagian besar anggota konstituante tidak hadir dalam sidang sehingga tidak bisa menghasilkan keputusan.
Akhirnya dalam situasi yang dianggap gawat inilah lahir Dekrit 5 Juli 1959 yang mana salah satu isinya berbunyi, “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 adalah merupakan suatu rangkaian dengan konstitusi tersebut”.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama (NU) Masa Orde Lama (1959-1966)
NU menerima Konsep Demokrasi Terpimpin
NU menerima konsep Demokrasi Terpimpin yang diusung oleh Soekarno tidak lain didasarkan pada pertimbangan fiqhiyah yang artinya “Jika terjadi benturan antara dua hal yang sama buruk dipertimbangkan yang lebih besar bahayanya dan melaksanakan yang paling kecil akibat buruknya” selain itu NU juga berpegang pada dalil yang menyebutkan bahwa jika kemampuan hanya dapat menghasilkan sebagian, maka yang sebagian itu tidak boleh ditinggalkan, harus tetap dilaksanakan.
NU menuntut pembubaran PKI
Pada tanggal 30 September 1965, keadaan Jakarta sedang genting dengan adanya gerakan atau pemberontakan terhadap pemerintah RI oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Di tengah situasi yang genting ini, NU pada tanggal 2 Oktober 1965 menyatakan kontra terhadap gerakan revolusi yang dilakukan oleh PKI. Tanggal 5 Oktober, NU beserta ormas-ormas lainnya menuntut adanya pembubaran PKI dan menyerukan agar umat Islam membantu ABRI dalam menumpas Gerakan 30 September 1965. Hingga akhirnya pemerintah menyetujui pelarangan terhadap keberadaan partai komunis di Indonesia.
Peran dan Perjuangan Nahdlatul Ulama Masa Orde Baru (1966-1998)
Kebijakan Penyederhanaan Partai
Pada tahun 1973, partai-partai politik bergabung dalam dua wadah fusi. Partai Islam disatukan dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan anggotanya yaitu NU, Parmusi, PSII, dan Perti. Wadah lainnya berisi PNI, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), Parkindo, Partai Katolik, dan Partai Murba, wadah kedua ini dinamakan Partai Demokrasi Indonesia.
Ketika berada dalam PPP, NU mendapat kehormatan layaknya di Masyumi. Semangat persaudaraan dalam tubuh PPP awalnya sangat kuat, namun pada hal itu tidak berlangsung lama, sebab ketika adanya pengajuan RUU Perkawinan, K.H. Bishri Sansuri sebagai wakil NU menolak adanya RUU tersebut. Menurut Bishri, RUU tersebut berisi pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum perkawinan dalam Islam.
K.H. Bishri Sansuri memiliki wibawa yang sangat besar dan sifatnya cenderung keras, sehingga ketika terjadi pertikaian di tubuh PPP, ia dapat dengan segera mengendalikan para pimpinan PPP. Sepeninggal K.H. Bishri Sansuri, anggota-anggota NU seringkali mengalami pertikaian dengan anggota dari partai lainnya.
NU kembali ke Khittah 1926
Pada Muktamar NU ke-26 di Semarang tanggal 6-11 Juni 1979, NU menyatakan akan kembali menjadi jam’iyah seperti tahun 1926. Keputusan ini diambil NU tidak lain karena menganggap bahwa pada saat itu NU sudah memiliki wadah dalam berpolitik yakni PPP, sehingga NU dapat kembali menjadi organisasi keagamaan lagi. Selain itu perjalanan politik NU yang seringkali mengalami kekecewaan membuat organisasi ini semakin terdorong untuk kembali ke Khittah 1926. Meski memutuskan untuk kembali menjadi organisasi keagamaan, tetapi anggota-anggota NU dapat ikut serta dalam politik secara perseorangan.
Asas Pancasila dan NKRI sebagai bentuk final bagi bangsa Indonesia
Dengan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila oleh pemerintah orde baru, NU memberikan dukungan penuh. Buktinya pada Muktamar ke-27 di Situbondo (1984), NU membuat keputusan bahwa “Nahdlatul Ulama berasaskan Pancasila. Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyah Diniyah Islamiyah beraqidah Ahlus sunnah wal jama’ah mengikuti salah satu dari empat mahzab yaitu: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali.”
Simpulan
Nahdlatul Ulama mengalami berbagai liku-liku dalam perjalanan panjang sejarahnya. Peran dan perjuangan NU sebagai organisasi keagamaan dan partai politik memang sangat signifikan. Sejak masa pendiriannya, NU telah menunjukkan kiprahnya agar terwujud masyarakat Indonesia yang lebih berkembang.
NU selalu mengambil peran dalam setiap periode sejarah di Indonesia mulai dari masa perjuangan menuju kemerdekaan, pada masa kemerdekaan, orde lama, orde baru, dan bahkan hingga saat ini. Pengaruhnya pun sangat luas dan berhasil menciptakan gagasan-gagasan yang kelak menjadi dasar bagi perjalanan NU di masa yang akan datang.
Bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai oleh kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjamin danmew ujudkan kelangsungan hidup bangsa dan Negara yang seutuhnya.
Unsur Dasar Bela Negara:
1. Cinta Tanah Air
2. Kesadaran Berbangsa & bernegara
3. Yakin akan Pancasila sebagai ideologi negara
4. Rela berkorban untuk bangsa & negara
5. Memiliki kemampuan awal bela negara
Disampaikan ulang pada MAKESTA angkatan ke dua PAC IPNU/IPPNU Tulang Bawang Tengah oleh, Ahmad Sobirin |