Ini saya tulis di desa bongkoran tempat segala penindasan yang sarat dengan pelecehan hak asasi manusia (HAM). saat hati ini tersayat, gundah entah selantang apapun kita para raja-raja pemerintah memalingkan wajahnya kami percaya perjuangan mereka tidakkan sia-sia.
Bagaimana mungkin kita serba simlabim ditanah yang merdeka ini ternyata masih belum terjamah. saudara sebangsa masih mengalami ketertindasan baik jasmani dan rohani.
Hukum yang di harapkan menjadi produk penataan sistem yang berkeadilan. Meningkatkan harkat dan martabat bangsa sudah jauh menyimpang kabur dari lingkupnya.
Mbah buang saksi hidup dengan perawakan yang menua dengan deteil menjelaskan inci per-inci perjuangan penduduk dusun bongkoran wongsorejo yang mulai tahun 1999 bergejolaknya konflik pengambilan paksa tanah para petani oleh perusahaan perkebunan kapuk "dulu kami sebagian warga tidak berdaya aparatur negara dan oknum-oknum preman menuduh kami simpatisan partai komunis indonesia (PKI) apabila tidak mau memberikan tanah kami" tuturnya. pki adalah salah satu dari tiga partai besar di indonesia yang di nyatakan makal (pemberontak) oleh negara.
Kriminalisasi oleh para kompromis elemen pemerintah tidak memadamkan semangat mereka. Korban dari pembunuhan sampai penggiran masuk bui sudah banyak. Padahal mereka sudah sampai pada kementrian sana masih tidak bisa memberi tanah mereka yang sejak 1945 sebelum kemerdekan telah di huni oleh nenek moyangnya. Kementrian sebagai kepanjangan tangan presiden yang secara hirarki merupakan pimpinan tertinggi dalam struktur negara seperti lacur yang menjual kehormatannya bagaimana tidak mereka warga negara indonesia di buang hanya demi keuntungan segelintir orang.
Perkebunan kapuk yang habis masa hak guna usaha (HGU) nya pada tahun 2012 kemaren. Tidak habis kini tanah bongkoran di alihkan pengalokasiannya oleh pemerintah pada sektor industri menggunakan hak guna bangunan (HGB) yang pada subtansinya sama-sama merampas. Miris sekali bahkan lelucon pala pelawak kawakanpun tak mampu menarasikan lucunya negeri ini, saat upacara bendera di tiap pengangkatan para abdi negara dengan khikmad di bacakan cita-cita negara kesatuan republik indonesia yang terejawantahkan dalam pembukaan (prembule) UUD 1945 lepas dari prakteknya.
Sejenak menyelam kedalam bukankah negara kita adalah negara berbasis agraris yang kekayaan alamnya di puja hingga negara kecil di eropa sana menggeruknya selama 350 tahun tak habis-habis. Komoditi yang berprospek dalam mewujudkan kesejahteraan dan menguasai hajat hidup orang banyak di hasilkan oleh petani lantas bagaimana logika berfikirnya sampai-sampai mau menggerus petani tidak salah jika indonesia menjadi salah satu negara eksportir beras terbesar padahal kita kaya akan sumber daya alam (SDA).
Lebih tak habis di fikir, orang miskin yang dipelihara oleh negara ternyata di buang oleh negara ke luar negeri dengan dalih pahlawan devisa. sedikit menganalisa dalam perspektif kajian ekonomi terhadap rekayasa sosial. Pusat bahan baku/komoditas itu berada di desa sedangkan perdagangan terpusat di kota bukan malah mengindustrialisasikan desa menjadi pabrik-pabrik, perumahan yang real estate serta gedung-gedung sehingga tergerusnya para petani. Sedangkan petani sendiri rata-rata tidak mengenyam pendidikan yang tinggi hingga pilihannya jadi buruh yang gajinya minim atau menjadi tenaga kerja indonesia (TKI) dari pada menganggur malah menyebabkan bertambahnya kriminalitas.
Berbanding horisontal dengan hingar bingar kehidupan kota disana para elit politik dengan manuver jitunya yang hanya orientasi kursi dan uang, masyarakat yang di bunuh rasa perdulinya dengan buaian hiburan seremonial pencitraan pemimpinnya, pemuda yang mulai autis baik aktivis yang hanya terkungkung dalam lingkar administrasi serta egoisme yang seolah-olah mengatakan tuhan telah mati ala nitze karna menganggap telah mengerti derita mereka. (Diktator)