Oleh, Dalem Tehang
SEUSAI mandi dan berganti pakaian, aku menuju ke kamar 8. Bertandang kepada kawan-kawan yang pernah beberapa hari aku tinggal di sel tersebut.
“Assalamualaikum. Sehat semua kan,” ucapku, saat sampai di depan kamar 8 dari balik jeruji besi.
“Waalaikum salam. Alhamdulillah, kami semua sehat. Babe juga tampilannya segeran terus. Alhamdulillah. Seneng lihatnya,” sahut pak Waras, yang sebelumnya tampak sedang menulis di buku kecilnya.
Setelah menutup buku kecilnya, pak Waras mendekat ke jeruji besi. Tempatku berdiri. Bersalaman. Disusul Asnawi dan pak Anas, serta beberapa tahanan lain.
“Be, nanti siang makan disini ya. Asnawi ulang tahun dan nanti istrinya besukan, bawa makanan. Buat syukuran,” kata pak Waras.
“O gitu. Selamat ulang tahun ya, Nawi. Terus semangat. Panjang dan berkah usiamu,” ujarku, seraya menyalami Asnawi, kap kamar 8.
“Terimakasih, be. Pak Waras ini bisa-bisaan aja. Belum tentu nanti makanan yang dibawa istri buat kita syukuran bisa masuk semua, sudah bilang-bilang ke Babe lagi,” kata Asnawi, tersenyum.
“Ya, nanti kan tinggal disampein ke tamping sama sipir aja sih, kap. Nggak ada yang nggak bisa diatur disini,” sahut pak Waras, menyela.
“Nggak usah jadi ribet soal makanan, kap. Yang kami pengen tahu, apa doa khusus kap di hari ulang tahun ini,” pak Anas ikut berbicara.
“Pengen terus dikasih ketenangan, pak. Jadi bisa jalani kehidupan disini dengan baik. Dan keluar nanti, mulai bisa jadi orang baik,” kata Asnawi, dengan suara mantap.
“Alhamdulillah. Adem denger kepengennya kap ini. Aku kasih kado ulang tahun buat kap dengan ngutip perkataan seorang ulama ya,” lanjut pak Anas.
Ia membalikkan badan dari jeruji besi, menuju ke tempatnya. Dibukanya tas kecil, dan dikeluarkan sebuah buku tebal. Lalu dibukanya pada halaman yang sudah dilipatnya.
“Aku bacain kado ulang tahunnya ya, kap. Ini buku judulnya Mudawatun Nufus. Imam Ibnu Hazm bilang: cara paling mujarab untuk memperoleh ketenangan adalah mengabaikan ucapan manusia dan memperhatikan perkataan Allah rab alam semesta,” tutur pak Anas, membaca buku yang ada ditangannya.
“Terimakasih banyak, pak Anas. Aku akan catet perkataan itu di bukuku. Buat kenang-kenangan seumur hidupku,” ujar Asnawi, dan menyalami pak Anas dengan penuh takdzim.
Seorang tamping regis datang. Memanggil Asnawi dan pak Waras serta dua tahanan lain di kamar 8 untuk segera keluar, karena ada besukan.
“Lho, ada yang besuk aku to rupanya. Yo wes, tak ganti kaos dulu,” ucap pak Waras, yang tidak menyangka hari itu akan menerima kedatangan keluarganya.
Sekeluarnya Asnawi, pak Waras, dan dua tahanan lain dari kamar untuk menuju ruang besukan, aku masih berdiri di depan jeruji besi kamar 8. Aku pandangi wajah pak Anas. Tetap teduh. Bahkan terkesan dingin, tanpa ekspresi.
“Sampeyan nggak pernah pengen dibesuk ya, pak,” kataku, pelan.
Pak Anas yang berdiri di depanku, hanya terhalang jeruji besi, tampak tersenyum. Kecut. Melihat senyumnya, aku baru menyadari, perkataanku sebelumnya telah membuat pria seumuran denganku itu, terguncang jiwanya.
“Maaf, pak. Keceplos aku tadi ngomongnya,” kataku buru-buru, sambil memegang tangannya yang sedang menggenggam jeruji besi.
“Nggak apa-apa, be. Yang disampein itu sesuatu yang lumrah aja. Manusia normal mana yang nggak kepengen ketemu keluarganya saat sedang di penjara begini. Terutama istri dan anak-anak. Tapi Allah berkehendak lain. Sepengen apapun yang aku rasain untuk bisa ketemu keluarga, aku lebih pengen untuk selalu disayang Allah,” ucap pak Anas dengan suara kalem. Penuh kelembutan.
Aku terdiam. Begitu piawai dan legowonya pak Anas mengemas kepapaannya sehingga keluarganya tidak pernah bisa membesuknya, dengan menaruhkan kenyataan tersebut kepada kehendak Sang Maha Pengatur.
Pak Anas, pria yang terjerat kasus togel, sehar-hari bekerja sebagai tukang sol sepatu di sebuah pasar tradisional.
Memiliki anak empat dan seorang istri, selama ini mereka hidupnya dari kontrakan ke kontrakan. Dan sejak pria yang hafal qur’an itu masuk bui, sekali pun istri dan anak-anaknya belum pernah menengok. Akibat ketiadaan dana.
“Maaf ini, be. Kalau jawabanku selalu bersandar kepada Yang Maha Hidup, ya karena itulah satu-satunya yang aku yakini atas kondisi apapun selama ini. Aku juga terus bersyukur dan doain kawan-kawan yang nerima kehadiranku dengan baik. Yang aku nggak diwajibin bayar uang kamar dan sebagainya, karena mereka paham kondisiku. Semua yang ngatur itu kan Rab Maha Agung. Kita selaku makhluk hanya jalani apa kehendak-Nya,” tutur pak Anas, beberapa saat kemudian.
“Sikap sabar dan keikhlasan pak Anas itu yang jadi motivasiku selama ini. Jujur, aku terus belajar menuju pada kesabaran dan keikhlasan itu, karena perilaku pak Anas jadi inspirasi buatku,” tanggapku, dan kembali memegang tangan pria separuh baya tersebut.
Tiba-tiba Aris dan Dika berdiri di sebelahku. Keduanya memakai kaos bertuliskan WBP. Pertanda mereka mendapat besukan.
“Babe tunggu aku makan siangnya ya. Adekku bawain sambel ikan asin kesukaan Babe,” kata Aris, sambil menepuk bahuku.
“Emang adekmu mau besukan?” tanyaku.
“Iya, sebentar lagi dia masuk. Masih antri di depan. Aku barusan dikabari bos besar kita di kamar 25. Adekku telepon ke hpnya,” lanjut Aris dengan wajah sumringah.
“Kalau kamu siapa yang besukan, Dika?” kataku kepada Dika yang berdiri di belakang Aris.
“Mantan tunanganku, bang. Kemarin sore aku telepon dia dari wartelsus. Aku iseng dan basa-basi aja, eh dia bilang hari ini mau besuk. Alhamdulillah,” sahut Dika. Wajah anak muda ini penuh keceriaan.
“Yakin mantan tunanganmu mau besuk? Jangan-jangan cuma PHP aja, Dika,” ucapku, menyela.
Spontan wajah Dika berubah. Memerah. Dan tidak lama kemudian, muncul suasana murung di wajah tampannya. Tampak ia begitu terkejut dengan pertanyaan bercandaku.
Tak ayal, rasa bersalah langsung ku rasakan. Karena aku amat memahami, betapa rumitnya untuk bisa menikmati setetes air kebahagiaan di dalam cawan yang bernama rutan. (bersambung)