Oleh, Dalem Tehang
SETELAH apel siang, aku keluar kamar. Menonton televisi di ruang depan. Pintu masuk Blok B. Seorang pria berusia sekitar 35 tahun, menawariku untuk membeli rokok yang dijajakannya. Bisa mengambil dulu, bayar belakangan. Dengan harga rata-rata Rp 3.000 perbatangnya.
Banyak tahanan yang menjajakan rokok semacam ini. Dengan menggunakan istilah asongan, mereka tidak hanya menaruhkan jajaannya di pos dekat pintu masuk setiap blok, tetapi juga berkeliling dari kamar ke kamar pada jam-jam tertentu.
“Kapan harus bayar, kalau ngambil rokoknya sekarang?” tanyaku kepada pengasong yang bernama Udin.
“Paling lama seminggu-lah, om. Kan harus terus muter pemasukannya. Kalau terlalu banyak yang ambil rokok dan bayarnya nggak menentu, usaha saya malah kolaps nanti,” jelas Udin.
Menghargai aktivitasnya untuk tetap bisa mencukupi kebutuhan pribadi selama di rutan, aku pun mengambil satu bungkus. Udin langsung mencatat nama dan rokok yang aku ambil di buku catatannya. Juga tanggal pengambilan rokok.
Sambil terus berbincang, aku meminjam buku catatannya. Aku buka lembar demi lembar. Ternyata, banyak juga pelanggan Udin di Blok B ini. Dan rata-rata, rutin membayar setiap pekannya.
“Gimana kalau ada yang ngambil rokok, terus dia keluar rutan dan belum bayar?” tanyaku lagi kepada Udin.
“Kan pasti kepantaulah om, siapa aja yang mau keluar. Lagian, saya kan tamping juga. Tamping kebersihan. Jadi, ya ada aja informasinya. Jadi sebelum orang itu keluar, saya sudah tagih duluan,” ujarnya dengan polos.
“Pernah nggak kamu kecolongan. Tiba-tiba yang belum bayar asongan rokokmu, sudah nggak ada disini lagi,” kataku lanjut.
“Pernah sih, om. Cuma kebanyakan, mereka sendiri nyelesaiin bayar asongan rokok sebelum keluar. Kuncinya kita saling percaya dan ngehargai aja om,” ujar Udin, dengan tersenyum.
Pria yang mengaku tersangkut kasus penganiayaan ini, telah satu tahun menjadi penghuni rutan. Masih delapan bulan lagi masa tahanan yang harus ia jalani. Meski demikian, ia tampak sangat enjoy. Bahkan, senyum tidak pernah lepas dari bibirnya saat diajak berbincang.
Udin juga mengaku, dengan kegiatan asongan ini, ia bisa mencukupi kebutuhannya selama menjalani hukuman. Apalagi, sebagai tamping, seperti juga tamping lainnya, mereka tidak perlu membayar uang kunci maupun uang air. Sehingga praktis, pendapatannya hanya dipergunakan untuk menutupi kebutuhan makan sehari-hari.
“Kenapa kamu nggak main kayak kawan-kawan di kamar 18 itu, Din. Yang praktekin kegiatan tipu muslihat dengan sasaran para perempuan,” kataku, beberapa saat kemudian.
“Yang ngaku-ngaku sebagai aparat dengan ngerayu perempuan itu ya, om?” tanya Udin. Balik.
“Iya, mainin pola kayak gitu maksudnya, Din. Kenapa kamu nggak tertarik? Katanya kan itu ngasilin uang cukup banyak,” lanjutku, memancing sekaligus mencari informasi.
“Nggaklah, om. Jujur, saya emang beberapa kali diajak sama mereka buat gabung. Karena saya juga paham soal trik-trik main di dunia elektronik dan maya seperti itu. Tapi saya nggak mau om,” kata Udin.
“Kenapa kamu nggak mau. Padahal seperti kata kamu tadi, kamu paham pola mainnya,” ujarku, mengejar.
“Kita ini sudah susah disini, om. Dan gara-gara kita masuk penjara, istri dan anak-anak, juga keluarga kita, ikut susah. Saya nggak mau nambahin susah mereka. Baikan saya usaha kayak gini aja. Minimal bisa ngidupin diri sendiri disini. Nggak cuma minta ke istri dan keluarga, hanya sekadar buat bisa makan,” tutur Udin dengan polos.
“Katanya, pendapatan dengan main trik itu bisa ngirim ke keluarga juga lo, Din. Kemarin Heru banyak cerita sama om,” kataku lagi, terus mengejar.
“Nggaklah, om. Buat saya, nyari yang halal aja. Apalagi buat makan istri dan anak. Nggak mau saya cari uang yang nggak halal. Kalau mereka bisa ngirim ke keluarganya lewat permainan itu, ya itu hak mereka. Yang penting saya nggak ikutan yang begituan,” lanjut Udin. Ada ketegasan sikap.
“Banyak ya yang main trik ngaku-ngaku aparat gitu disini?” tanyaku lagi.
“Banyaklah, om. Bukan cuma yang di kamar 18 itu aja. Banyak di kamar-kamar lain. Cuma bedanya, mereka main sendirian, om. Nggak ramean kayak di kamar 18. Jadi nggak kepantau,” urai Udin.
“Maksudnya nggak kepantau itu gimana ya, Din,” kataku, semakin penasaran.
“Mereka yang di kamar 18 itu, karena mainnya rame-rame, kepantaulah om sama sipir maupun petugas penanggungjawab blok. Makanya, pada hari-hari tertentu, mereka harus kasih setoran. Atau kalau pas petugas penanggungjawab blok ada keperluan, mintanya sama mereka,” sambung Udin, panjang lebar.
“Jadi sebenernya, kegiatan mereka itu diketahui petugas ya, Din,” ucapku lagi.
“Iyalah, om. Petugas penanggungjawab blok dan sipir tahu persis soal itu. Walau memang, nggak semua sipir tahu. Ada istilah, apa yang mereka dapet dari trik permainan ngaku aparat itu, adalah pundi-pundi khusus buat sipir dan petugas penanggungjawab blok,” urai Udin lagi.
“Gimana cara mereka ngambil dananya ya, Din. Kan pasti ketahuan kalau dikirim lewat transferan di bank,” kataku, masih penasaran.
“Mereka yang main pola ini sudah canggih-canggih, om. Mereka punya banyak rekening atas nama orang lain. Kan banyak juga yang bisa ngadain rekening dengan ATM-nya disini,” sahut Udin.
“O gitu, Din. Jadi, mereka pegang ATM atas nama orang lain, gitu ya?” tanyaku, menyela.
“Iya gitu, om. Disini, ada yang spesial ngadain rekening dari berbagai bank. Dengan nama dan alamat palsu. Tapi rekeningnya asli. Nah, mereka yang main pola ngaku aparat, pasti beli dulu rekening gituan. Nanti hasil olahannya, masuk ke rekening itu. Pokoknya, rapih pola mainnya,” Udin menambahkan.
“Berapa harga rekening berdata palsu itu, Din?” kembali aku bertanya.
“Macem-macem, om. Ada yang Rp 3 juta, sampai Rp 5 juta. Jadi, kalau mau terjun ke permainan ngaku aparat, ya harus punya rekening gituan. Kalau belum punya, lebih baik jangan main dulu. Karena kalau pinjem rekening kawan yang lain, kena potongan cukup besar, sampai 25%,” beber Udin.
“Gimana cara mereka ngambil uangnya. Kan mereka di dalem,” kataku, terus mengejar.
“Rata-rata, ATM-nya dititip ke sipir. Banyak juga yang dipegangin ke temennya diluar atau keluarganya, om. Banyak trik mereka yang kalau ditelusuri, bisa buat kita terkaget-kaget pokoknya, om. Baikan om nggak usah tahu pola mainan ini deh,” lanjut Udin.
“Kenapa om lebih baik nggak usah tahu pola mainan ini, Din?” tanyaku, sambil menatap wajahnya.
“Nanti om semakin penasaran begitu berhasil. Akhirnya, om keasyikan dengan permainan itu. Lama-lama ketagihan dan jadi pekerjaan. Kan nggak baik buat kehidupan ke depannya,” tutur Udin.
“Emang ada yang jadiin pola tipu muslihat itu sebagai pekerjaan, Din?” tanyaku lanjut.
“Banyak, om. Setahu saya, setidaknya ada tiga orang yang milih masuk rutan lagi demi jalani pekerjaan itu,” ujar Udin.
“Maksudnya kayak mana sih,” kataku, menyela.
“Jadi gini, om. Permainan ngaku aparat itu kayaknya emang magnitnya kalau dimainin di dalam penjara. Dulu, mereka kerjaannya main begitu selama disini. Keluar dari sini, karena sudah ketagihan, mereka lakuin juga diluar,” kata dia.
“Terus kayak mana kelanjutannya,” ujarku, menyela.
“Baru sebulan main, ketangkep. Terbongkar praktik tipu muslihatnya. Akhirnya masuk sini lagi. Dan disini, ya kerja lagi. Itu yang saya maksud pola kejahatan ini bahaya, kalau sudah dijadiin pekerjaan. Bisa lebih seneng tinggal di dalem ketimbang diluar. Karena di dalem lebih aman. Kalau mainnya diluar penjara, pasti bakal cepet ketangkep ,” Udin mengurai panjang lebar.
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Terkagum-kagum atas kecerdikan banyak orang dalam memainkan trik tipu muslihat dengan mengaku-aku sebagai aparat tersebut.
Benarlah perkataan banyak orang, ketika pikiran dan jiwa merasa terpenjara, kreativitas tidak terduga akan tumbuh dengan suburnya. Terlepas apakah itu menuju ke arah kebenaran atau kerusakan. (bersambung)