-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Balada Seorang Narapidana (Bagian 188)

Kamis, 07 Juli 2022 | Kamis, Juli 07, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-07-22T03:05:05Z


Oleh, Dalem Tehang


AKU pun bergegas masuk ke kamar, dan membersihkan badan di kamar mandi. Berganti pakaian. Memakai kaos tanpa lengan dan bercelana panjang jeans. 


Juga memakai cincin di kedua jari manis tangan kanan-kiriku. Cincin kawin dan cincin pemberian adikku, Laksa. Serta tentu saja, menaburkan minyak wangi.


Ketika aku kembali duduk di kursi taman, pak Hadi tampak memperhatikanku dengan serius.


“Ada yang aneh, pak?” tanyaku, sambil melihat tatapan matanya.


“Saya suka sama penampilan pak Mario. Bergaya cuek tapi matching. Kelihatan kalau pak Mario ini laki-laki berkelas,” kata pak Hadi, seraya tersenyum.


“Nggak juga, pak. Saya memang kurang suka berpakaian yang formal. Enakan yang sporty gini. Kalau pakai sesuatu sesuai dengan selera sendiri, rasanya lebih pede,” tanggapku, juga sambil tersenyum.


Setelah melanjutkan obrolan kesana-sini beberapa saat, pak Hadi mengajakku untuk ke pos penjagaan dalam. Aku ikuti ajakannya. 


Sebelum beranjak meninggalkan tempat kami berbincang, aku meminta kepada Rudy untuk segera membersihkan bekas kami menikmati kopi dan panganan kecil.


Di pos penjagaan dalam, ada tiga orang sipir yang bertugas. Setelah bersalaman, kami pun terlibat perbincangan. Salah satu sipir mengajak pak Hadi bermain catur.


Mereka bergeser posisi. Keluar ruangan pos. Duduk di teras depan untuk bermain catur. Olahraga otak. Aku bawa kursi dari dalam ruangan, dan duduk menyaksikan mereka bermain catur. 


Aku mulai tertarik dengan permainan ini. Karenanya, mencoba memahami gerakan dan trik-trik yang dimiliki pak Hadi. Yang dikenal cukup piawai memainkan bidak-bidaknya. 


Konsentrasiku belajar catur dengan memperhatikan permainan pak Hadi, terpecah berkali-kali. Seiring keluar masuknya tahanan yang akan dan telah menerima besukan anggota keluarganya.


Akhirnya aku meninggalkan pos penjagaan dalam. Berjalan ke ruang bimker atau bimgiat. Tempat bimbingan kerja dan bimbingan kegiatan bagi para tahanan yang ada di rutan.


Saat memasuki ruangan yang cukup luas dengan pernak-pernik di dinding berbagai hasil olah kreativitas seni dan ekspresi bakat minat itu, mataku terpaku pada satu sosok pria muda yang tengah menulis dengan konsentrasi penuh.


Mengambil tempat di sudut kiri ruangan bimker, anak muda tersebut tampak tidak terpengaruh sama sekali konsentrasinya dengan kegiatan tahanan lain. Yang membuat patung dari kayu, maupun yang tengah melukis di atas kanvas. Bahkan yang tengah mengelas rangkaian besi untuk tempat menjemur pakaian.


Aku berdiri mematung sekitar 2 meter dari anak muda itu. Lama dia sama sekali tidak terusik dengan kehadiranku. Hingga dua kali aku berdehem, baru ia mengangkat wajahnya. Menatap ke arahku.


“Ada yang bisa saya bantu, pakde?” sapa dia, bertanya.


“Pengen tahu aja, kamu lagi buat apa,” sahutku seraya mengenalkan diri.


Anak muda itu langsung berdiri dari tempat duduknya, begitu aku mendekat dan mengulurkan tangan. Bertatakrama. Menghormati yang lebih tua.


“Saya Ikhsan, pakde,” kata anak muda itu, setelah aku menyebut namaku.


“Kamu lagi buat apa, Ikhsan?” tanyaku, kemudian.


“Lagi belajar buat cerita pendek, pakde. Juga beberapa puisi,” kata anak muda berusia 25 tahunan tersebut. 


“Wah, bagus itu, Ikhsan. Sudah banyak ya hasil karya cerpen atau puisimu?” tanyaku lagi. 


Anak muda bernama Ikhsan itu tidak menjawab. Ia membuka tas kecilnya. Dikeluarkan beberapa buku tulis. Telah penuh dengan hasil karyanya. Bertuliskan tangan. Cukup rapih tulisannya.


Ia serahkan buku-buku tersebut ke tanganku. Aku buka satu demi satu lembarnya. Banyak sekali cerpen yang ia buat. Pun puisinya, berpuluh judul bahkan.


“Produktif sekali kamu, Ikhsan. Hebat kamu,” kataku, sambil menatap anak muda itu dengan rasa bangga.


Ikhsan hanya menundukkan wajahnya, disertai senyuman. Tanpa berkomentar apapun. 


“Berapa lama kamu buat ini semua?” tanyaku, setelah membuka beberapa buku yang penuh dengan tulisan tangannya.


“Sekitar setahun delapan bulan inilah, pakde. Doain, nanti setelah keluar dari sini bisa saya terbitin tulisan-tulisan ini,” kata Ikhsan. Ada optimisme dalam nada suaranya.


“Yakin aja, Ikhsan. Apa yang kamu harepin bisa terwujud. Apalagi cerpen dan puisi ini semua hasil karyamu sendiri. Pasti punya nilai tinggi untuk hari depanmu,” ujarku, memotivasi.


“Kalau pakde mau baca-baca, boleh bawa bukunya. Tapi jangan rusak atau hilang ya, pakde,” kata dia lagi.


“Oh ya, boleh pakde pinjem untuk dibaca-baca hasil karyamu,” sahutku, dengan cepat.


Ikhsan mengangguk, dan tetap menebar senyum. Menghargai kemampuannya memaksimalkan bakat minat yang dimiliki dalam kondisi terpenjara semacam ini, aku pun meminjam dua bukunya. Yang satu berisi kumpulan cerpen, satunya berisikan kumpulan puisi.


“Kamu tinggal di blok mana?” tanyaku, memastikan.


“Saya di Blok A, kamar 21, pakde. Kalau pakde kan di kamar 20 Blok B,” kata dia, dengan nada santai.


“Kok kamu tahu, kalau pakde di kamar 20 Bok B?” tanyaku, terkaget. 


Ikhsan tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Sebuah sikap yang menggantung atas suatu pertanyaan. Dan memang, tidak setiap tanya mesti mendapat jawab.


Setelah berbincang beberapa saat, aku keluar ruangan bimker sambil membawa dua buku yang berisi karya tulis Ikhsan. Seorang tahanan berusia muda yang tetap bersemangat menikmati hari-hari terkungkungnya dengan terus mengolah kemampuan yang dimilikinya.


Aku kembali duduk menyaksikan pak Hadi dan seorang sipir yang masih penuh konsentrasi bermain catur di teras pos penjagaan dalam. Kedatanganku sama sekali tidak mengusik keasyikan keduanya.


Saat melihat puluhan tahanan yang menjadi anggota majelis taklim mulai berjalan keluar Blok A untuk menuju masjid, aku pun meninggalkan pak Hadi yang tengah bermain catur. 


Sesampai di kamar, aku taruh buku Ikhsan di rak tempatku menaruh buku catatan harian. Dan mengambil kain sarung serta kupluk. Sesaat kemudian, aku sudah di masjid. Seusai mengikuti jamaahan solat Dhuhur, baru aku kembali ke kamar.


Makan siang dengan lauk sayur kangkung dan tempe bacem dari catering dapur, membawa kenikmatan tersendiri buatku.


Bukan hanya karena sudah lama tidak merasakan masakan tersebut, tetapi juga disebabkan satu kotak tupperwaer makanan berbagi dengan Ino. Penghuni sel 19 yang menjadi sahabatku.


Dalam kehidupan ini ada saatnya untuk berbagi, ada waktunya untuk berharap, dan ada kesempatan untuk berhenti sesaat. Namun, tidak ada waktu untuk menyerah, apalagi kalah. Karena tetap ada masa untuk memperjuangkan, walau tetap ada juga untuk mengikhlaskan. (bersambung)

×
Berita Terbaru Update