Oleh, Dalem Tehang
SELANJUTNYA, berdiri seorang pria berbadan kekar dengan postur pendek. Rambutnya yang cepak membuat penampilannya cukup menyeramkan. Ditunjang wajahnya yang memang sangar.
Betis kaki kanannya masih diikat perban yang cukup tebal. Untuk berdiri pun, ia masih harus berpegangan pada tembok terlebih dahulu.
“Assalamualaikum. Namaku Herman. Umur sudah lebih dari 53 tahun. Aku ngerampok toko emas. Belum sempet kabur, sudah dikepung warga. Karena aku ngelawan, bisa kabur. Tapi belum jauh dari tempat kejadian, aku kepergok polisi dan langsung di-dor. Kena betis kakiku. Akhirnya aku nyerah,” ujar pria itu dengan suaranya yang berat.
“Pelurunya sudah diambil apa belum itu, om?” tanya Arya. Herman menggeleng.
“Kok belum? Pastinya kan om dibawa ke rumah sakit dulu. Masak disana nggak diambil pelurunya,” lanjut Arya.
“Ya emang aku dibawa ke rumah sakit. Diobati. Cuma pelurunya belum diambil. Makanya kaki kananku ini sering ngilu dan ngenyut sakit gitu. Apalagi kalau pas cuaca dingin,” jelas Herman.
“Om tahu nggak, apa alasan pelurunya nggak dikeluarin dari kaki om,” kata Tomy. Penasaran.
“Kalau kata polisi yang nungguin waktu pengobatan di rumah sakit, biar pelurunya jadi kenang-kenangan di kakiku aja,” ucap Herman sambil tersenyum kecil.
Kami semua ikut tersenyum dengan penjelasan Herman. Dan tanpa ia memberitahu pun, kami memahami bila Herman seorang residivis. Terbukti aparat berwenang sengaja memberi kenang-kenangan berupa peluru tetap bersarang di kakinya.
“Oke, gimana soal kewajiban kamar, Man?” tanyaku, tanpa mau berlama-lama mendengar ceritanya.
“Siap, Be. Sama sekalian mau tanya, kami kena berapa buat uang penempatan kamar, pasti ada kan,” sahutnya sambil menatapku. Tajam.
“Iya, semua yang masuk sini kena uang penempatan kamar. Khusus kamar 10, aku sudah ngomong sama kepala blok, per-orang kasih Rp 100.000. Kalau kamar lain bisa dua sampai tiga kali lipet,” jelasku.
“Siap, Be. Besok sekalian aku bayar uang penempatan dan kewajiban bulanan kamar,” kata Herman sambil menundukkan wajahnya, menghormat.
“Kita lanjut perkenalan sama yang terakhir,” kataku kemudian.
Tahanan baru yang mendapat tempat paling ujung dekat kamar mandi itu berdiri. Dia memilih pindah ke dekat pintu kamar untuk mengenalkan dirinya.
Berpostur tinggi, pria ini juga berbadan cukup kekar, dengan kulit putih bersih. Kumis tebalnya melintang di atas mulutnya yang berbibir tebal. Sorot matanya tajam.
“Assalamualaikum. Panggil aja aku Robi. Umur 49 tahun. Aku ada disini karena kasus perampokan,” kata dia dengan suara pelan.
“Ngerampoknya kayak mana, om?” tanya Irfan.
“Sebenernya, bisa dibilang ngerampok nggak sengaja,” ujarnya.
“Nggak sengaja kayak mana?” lanjut Irfan, memotong.
“Jangan kau potong dulu aku ngomong ini-lah. Denger dulu baik-baik,” kata Robi sambil menatap Irfan dengan tajam. Tampak sekali Robi tipe yang mudah tersulut emosi.
“Slow aja, bos. Disini nggak boleh semarah-marahan. Santai aja,” Nedi menyela sambil menatapkan pandangannya ke arah Robi berdiri.
“Sorry kalau aku agak keras ngomongnya ya. Ini sudah bawaan sejak lahir. Nggak bisa lemah lembut kayak perempuan,” balas Robi.
“Lanjut sama kasusnya aja, Robi. Nggak usah ngebahas soal bawaan bayi, nanti jadi panjang nggak karuan,” ucapku, memotong.
“Siap, Be. Jadi waktu itu, malem-malem aku lagi jalan bawa motor sendirian. Suntuk di rumah. Pengen cari angin aja. Pas di jalan bypass, ku lihat ada mobil berhenti di pinggir jalan dan goyang-goyang. Feeling-ku langsung kerja. Ini pasti lagi mesum yang di dalem mobil,” kata Robi dengan nada suaranya yang keras.
"Dan ternyata bener feeling om,” ucap Arya, menyela.
“Iya, bener. Aku berhentiin motor. Ku ketok-ketok kacanya. Sambil ku intip. Bener, ada laki-laki sama perempuan lagi mesum di mobil itu. Aku gedor kacanya sampai pecah. Dan langsung ku todong mereka pakai golok yang memang selalu aku bawa. Ku ambil semua barang yang ada. Mulai dari dompet, tas, hp, ada laptop juga. Pokoknya banyak. Habis itu, aku kabur,” urainya lagi.
“Gimana akhirnya bisa ketangkep, om?” tanya Hasbi, yang tampak selalu memperhatikan dengan serius setiap kali tahanan baru mengenalkan diri.
“Dari lokasi ngerampok pasangan mesum itu, aku main ke diskotek. Di dompet yang aku rampas, uangnya banyak. Ada jutaan. Jadi punya modal buat happy-happy. Sampai diskotek tutup menjelang pagi. Begitu aku keluar, langsung disergap empat orang. Rupanya polisi. Barang-barang hasil rampokan yang ku titipin di pos jaga diskotek, sudah diamanin duluan sama polisi. Ya sudah, akhirnya aku dibawa ke kantor polisi. Diproses dan sampailah di kamar ini,” sambung Robi dengan runtut.
“Kok bisa gitu cepetnya polisi nangkep om. Kan habis ambilin barang, om langsung kabur,” kata Hasbi. Ada penasaran.
“Waktu pemeriksaan, baru tahu sebabnya kenapa gitu cepet polisi bisa nangkep aku,” ucap Robi seraya tersenyum, tersipu.
“Apa sebabnya, om?” tanya Hasbi lagi, menari jawaban atas rasa penasarannya.
“Rupanya, mereka mantau aku dari hp pasangan mesum yang ada di kantongku. Aku lupa matiin. Jadi ketahuan posisiku ada dimana,” jelas Robi. Kali ini sambil tersenyum kecil. Mengakui kekalahan.
Kami semua tersenyum mendengar apa yang Robi sampaikan. Dan kian tersadari, bila tidak ada kejahatan yang sempurna. Tetap saja ada celah untuk akhirnya terungkap, sepiawai apapun pelakunya.
“Soal kewajiban kamar gimana, Robi?” tanyaku kemudian.
“Siap, Be. Aku paham sama yang ginian. Tapi aku minta waktu agak lama ya. Seminggu-lah. Sebab, keluargaku lagi pada pulang ke kampung. Malu mereka tetep tinggal di rumah, apalagi anak-anakku, karena jadi omongan tetangga kasusku ini,” sahut Robi panjang lebar.
“Oke, semua kawan kita yang baru sudah nyampein ceritanya dan kesiapannya jadi bagian di kamar ini. Aku perlu pesenin disini. Pertama, nggak ada istilah penghuni kamar ngumbar cerita kita ke luar. Apapun kejadian di kamar ini, cukup disini aja. Kedua, pantang ada keributan sesama penghuni kamar. Kalau pengen nunjukin kejagoannya, gebukin aja tahanan kamar lain. Pasti aku back up. Ketiga, manfaatin waktu disini buat deketin diri sama Tuhan dan taubat. Dan isi waktu dengan kembangin hobi masing-masing yang positif. Itu aja, terimakasih,” kataku dan menutup pertemuan.
Aku langsung merebahkan badan. Sudah hampir tengah malam. Bulan separuh yang sebelumnya bisa dilihat dari sela-sela jeruji besi, kini telah bergeser. Hanya meninggalkan seberkas sinar redupnya.
Melihat aku sudah merebahkan badan dan bersiap untuk tidur, Irfan mendekat. Mulai memijat telapak kakiku dengan pelan. Pijatan meninabobokkan. (bersambung)