-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Balada Seorang Narapidana (Bagian 93)

Minggu, 03 April 2022 | Minggu, April 03, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-04-30T06:28:43Z


Oleh, Dalem Tehang


SILAHKAN duduk, Hen. Sekarang kamu,” kataku sambil menunjuk tahanan baru yang sejak tadi hanya menundukkan kepalanya.


“Assalamualaikum, kawan-kawan. Panggil saja aku Dian. Dua hari lalu umurku pas 50 tahun. Aku masuk sini karena kasus penggelapan mobil rental,” ucap pria berbadan tambun berambut putih dan berkulit hitam pekat itu, dengan suara bergetar diliputi keharuan.


Tampak tatapan matanya kosong. Badannya pun bergetaran. Sehingga ia berdiri tidak bisa tegap. Bahkan, sesaat kemudian, ia menyandarkan badannya ke tembok di belakangnya.


“Om kurang sehat ya?” tanya Hasbi. Pria itu menggelengkan kepalanya sambil menatap Hasbi.


“Bisa nerusin perkenalannya apa nggak, Dian? Kalau nggak kuat, sambil duduk juga nggak apa-apa,” kata Asnawi. Ada nada prihatin melihat kondisi Dian. 


“Bisa kok. Aku tetep berdiri aja. Ngehormati kawan-kawan semua. Jadi ceritanya, aku ngerental mobil. Sewanya sebulan. Pas minggu ketiga, anak mantuku minjem mobil itu. Aku kasih-lah, namanya juga mantu. Nggak tahunya, dia ngilang. Sampai akhirnya, aku dilaporin polisi dan masuk sini,” kata Dian, setelah bersusah payah menenangkan dirinya.


“Emang ngilang kemana mantunya, pakde,” ujar Atmo menyela.


“Kalau aku tahu dia dimana, aku sendiri yang nangkep. Ini bener-bener dia ngilang. Kayak ditelen bumi. Ninggalin istri dan satu anaknya. Kami sekeluarga sudah cari kemana-mana, nggak ketemu juga. Yah, mau kayak mana lagi,” kata Dian.  


“Yang punya rentalan tahu kasusnya kayak gini ya, pakde?” lanjut Atmo.


“Yo tahu-lah. Tahu persis malah, karena dia juga sudah kesana-sini nyarinya. Nggak ketemu juga. Gilanya mantuku, GPS di mobil itu, dicopot. Jadi nggak bisa dilacak posisinya,” jelas Dian.


“Kalau yang punya mobil tahu, kok pakde yang dilaporin? Kan yang bawa kabur mobilnya mantu pakde,” sambung Atmo dengan penasaran.


“Lha, yang ngerental itu kan aku to. Yang nandatangan di kuitansi juga aku. Jadi yo aku yang tanggung risikonya. Yo wes, nasibku koyo ngene, mau gimana lagi,” kata Dian dengan suara pelan.


Mendadak Dian menangis. Suaranya cukup kencang dan sampai sesenggukan. Suasana kamar pun menjadi penuh keharuan. 


Spontan Atmo berdiri. Mendekati Dian dan memeluknya dengan penuh ketulusan.


“Sabar yo, pakde. Semua sudah garisane Sing Gawe Urip,” kata Atmo setengah berbisik di telinga Dian.


Tampak Dian mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesekali ia memegang dadanya, mengatur nafas. Mencoba mengendalikan gejolak rasa tidak mengenakkan yang meletup-letup pada sudut jiwanya.


“Kalau sudah tenang, ajak duduk aja, Atmo. Terus soal kewajiban kamar gimana, Dian,” ucapku. Membelah suasana yang mulai terbawa pada keharuan.


“Sebentar dulu, Be. Biar Dian ngatur nafas. Kasihan ngelihatnya,” kata Nedi, menyela ucapanku.


“Disini bukan tempatnya bermanja apalagi unjuk kecengengan. Ayo Dian, jangan biarin diri kamu nelongso gitu. Nggak ada yang kasihan sama kamu disini. Kita disini sama-sama susah hati, susah pikiran, dan susah badan,” kataku dengan suara tegas.


Mendengar penegasanku, wajah Nedi mendadak berubah. Pucat. Ia tahu persis hakekat sebuah penegasan seorang kepala kamar di penjara. Berbaik-baik bukan berarti lemah. Boleh jadi, berbaik-baik adalah ekspresi menyimpan kekuatan, kekerasan, bahkan kekasaran. 


Aku perhatikan, dengan perlahan, Dian duduk di bidang tempatnya. Sebuah kaos ia taruh sebagai pelapis lantai dan didudukinya. 


Wajahnya mulai kembali normal. Meski sesekali masih mengusap matanya, membersihkan air mata yang menggantung.


“Mohon maaf, Be. Aku memang cengeng. Kalau sedih sedikit aja, pasti nangis,” kata Dian sambil menatapku.


“Nangis itu nggak salah, Dian. Dan juga bukan nunjukin kalau kita cengeng. Wong pas kita lahir aja langsung nangis kok. Itu bukti kalau selama hidup di dunia, kita tetep boleh nangis. Tapi nangisnya buat kegembiraan, buat sukacita. Jangan nangis karena kesedihan,” sahutku dengan cepat.


Semua penghuni kamar 10 terdiam. Tampak mereka tengah menelaah apa yang aku sampaikan. Beberapa di antara mereka mengernyitkan dahi. Pertanda tidak menemukan simpul atas perkataanku.


“Nggak pada nyambung ya sama yang aku sampein. Maksudku, nangis itu yang sampai bersuara, apalagi sampai sesenggukan. Kayak Dian tadi itu. Kalau netesin air mata aja, lumrah sebagai ekspresi dari satu kesedihan. Kalau nangis sampai bersuara, harusnya itu kita lakuin pas ada kejadian yang nyenengin hati,” uraiku.


“Tapi repot juga kalau gitu, Be. Nggak lazim juga kita ngelakuinnya,” ujar Tomy.


“Eh, Tomy. Mumpung kita hidup di dunia yang penuh ketidaklaziman, ya ayo kita mulai berpikir dan bertindak yang nggak lazim juga. Kan nambah pengetahuan dan kemampuan. Jangan kita sudah di penjara, keluar nanti nggak punya kemampuan lebih dari orang yang nggak pernah rasain penjara,” sahutku. Enteng.


“Siap, Be. Penjara emang neraka dunia. Jadi kalau kita sudah keluar dari sini, jangan pernah takut sama apapun lagi soal dunia. Gitukan, Be,” kata Nedi dengan bersemangat.


“Nah, itu mauku. Jangan bermental lembek. Aku minta tahanan baru dengan kasus perampokan dan penggelapan masuk sini, bukan tanpa maksud. Apapun, kalian punya kelebihan. Terus kembangin kelebihan kalian dari sini. Nanti setelah keluar, wujudin buat kebaikan sebanyak-banyaknya,” jelasku, juga dengan bersemangat.


“Gimana kalau nanti ada yang ngajak macem-macem lagi, Be?” tanya Tomy.


“Kalau ngajak ke arah kasus kriminal, hindari. Tapi kalau yang macem-macem itu misalnya ngajak berantem atau ngecilin kalian, ya habisi aja,” kataku dengan serius.


“Malahan masuk penjara lagi dong, Be,” sela Tomy.


“Toh, masuk penjara juga kita sudah tahu gimana rasanya. Kenapa takut? Neraka dunia ini harus kita taklukin. Jadi nanti di luar, kita cuma mikirin gimana bisa dapet surga akherat. Selesai itu,” sambungku, menggebu-gebu.


“Siap, Be. Kami siap jadi pasukan Babe sejak disini sampai ke depannya,” ujar Asnawi sambil mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan mengepal.


Gerakan kesiapan gaya Asnawi itu, mendadak diikuti oleh semua penghuni kamar. Termasuk tahanan yang baru masuk. Ada semangat tersendiri yang kini lahir di kamar 10 ini.


“Oke, kita lanjut lagi obrolan yang masih ngegantung tadi. Gimana soal kewajiban kamar, Dian? Siap apa nggak,” ujarku kemudian.


“Siap nggak siap kan harus tetep siap ya, Be. Aku siap ikut apa aja keputusan Babe,” kata Dian dengan suara lantang.


Aku tersenyum. Pria paruh baya itu mulai tersengat ghirah-nya sebagai manusia yang tegar dan tidak memikirkan lagi akan hal-hal yang menakuti hati dan pikirannya. 


“Kewajiban uang kamar itu bukan keputusanku, Dian. Tapi kesepakatan semua penghuni kamar. Jadi, kalau kalian mau disini, ya harus patuh sama kewajiban itu. Kalau nggak mau, berarti kalian keluar dari sini. Gampang aja kok,” ucapku, menjelaskan.


“Iya, siap, Be. Aku mau di kamar ini, siap sama apa aja aturan disini,” lanjut Dian, dengan tetap bersuara lantang dan bersemangat.


“Bagus kalau gitu, itu baru namanya Dian. Sang pemberi penerangan karena punya keberanian hadir sendirian di kegelapan,” sahutku dan tersenyum ke arah Dian.


Pria bertubuh tambun dengan kulit hitam pekat itu menyahuti perkataanku dengan sebuah senyuman. Hingga deretan giginya yang putih menonjol, keluar. (bersambung)

×
Berita Terbaru Update