Oleh, Dalem Tehang
SETELAH berpamitan kepada petugas piket, aku kembali ke kamar, ditemani tamping yang membawakan tiga kantong plastik berisi makanan.
Sebelum tamping mengunci kembali gembok kamar, aku beri ia satu batang rokok. Spontan, wajahnya pun sumringah. Bungah.
“Be, ini kawan-kawan yang baru masuk gimana?” tanya Hasbi.
Aku pandangi empat tahanan baru, yang masih berdiri dengan memegang tempat pakaian masing-masing.
“Diatur aja, berderet di bawah ya. Ambil posisi masing-masing. Nedi naik ke atas, di samping Asnawi,” kataku.
Bergegas mereka menaruhkan barang di tempat yang telah aku tentukan. Nedi yang sedang di kamar mandi, meminta Hasbi meletakkan tas kecil tempat pakaiannya, di samping bidang Asnawi.
“Kalian semua muslim apa non muslim?” tanyaku pada keempat tahanan baru.
“Muslim, Be,” sahut mereka serentak.
“Kalau gitu, semua wajib solat. Itu yang penting. Yang lain-lain, urusan belakang,” tanggapku.
Tampak mereka berempat masih duduk. Diam di tempatnya. Ada kebingungan mesti melakukan apa.
“Jadi gini, solat itu kewajiban bagi muslim. Karena kalian muslim, aku ngajak solat. Dan kalau kita solat, nggak hebat-hebat juga sebenernya. Sebab, yang kita lakuin emang kewajiban kita. Bukan sesuatu yang patut dibanggain juga,” kataku lagi sambil memandangi empat tahanan baru.
Mereka masih diam. Saling berpandangan. Aku tahu, mereka masih berpikir untuk melakukan sesuatu.
“Jadi gini aja. Kalau kalian nggak mau ngejalanin yang emang wajib dilakuin, berarti kalian emang pecundang. Urusan gini aja kalian nggak mau, gimana sama kebutuhan yang harus dipenuhi di kamar ini. Ketimbang musingin, segera aku usulin kalian pindah aja dari kamar ini,” sambungku, mulai dengan nada menekan.
Bergegas, mereka bangun dari tempat masing-masing dan mengambil air wudhu. Karena kain sarung tidak mencukupi, akhirnya kami solat bergantian. Yang pertama aku menjadi imam, dan jamaah kedua Hasbi yang mengimami.
Seusai maghriban berjamaah, Hasbi langsung mengajar mengaji. Juz Amma. Sampai suara adzan Isya berkumandang. Dilanjutkan dengan jamaahan solat Isya.
Saat Tomy masih melipat semua kain sarung untuk dimasukkan ke kantong plastik dan nantinya diamankan di lemari kecil pos penjagaan, apel malam pun berlangsung.
“Yang baru masuk tadi siapa aja?” tanya petugas piket. Keempat tahanan baru serentak mengangkat tangannya.
“Oke, baik-baik kalian disini ya. Jangan macem-macem. Kap kamar ini galak, tapi baik hati. Nggak usah ngetes-ngetes, nanti susah sendiri,” ujar petugas piket, menasihati tahanan baru.
Setelah petugas piket meninggalkan depan kamar, Hasbi menyiapkan makan malam. Dibantu Arya dan Irfan.
“Disini, makannya bareng. Nggak ada istilah makan sendiri-sendiri, apalagi nyumput-nyumput. Yang ada, ya dimakan. Kalau nggak ada, ya sudah,” kata Asnawi kepada tahanan baru.
Tampak keempat tahanan baru itu masih bingung untuk ikut makan malam bersama. Apalagi piring yang ada memang kurang. Akhirnya, Hasbi dan Arya yang mengalah. Mereka makan satu piring berdua.
“Ayo, sama-sama makan. Bismillah,” kataku dan memulai makan.
Semua penghuni kamar 10 malam itu makan dengan lauk ikan asin sambel dan sayur lodeh, dilengkapi kerupuk kampung, bawaan istriku Laksmi petang tadi.
Seusai itu, Hasbi buru-buru membersihkan lantai kamar. Menyapu dan mengepelnya. Juga mencuci peralatan makan yang baru dipakai. Dan setelahnya, ia duduk di bidang tempat tidurnya.
“Kalau semua sudah oke, kita mulai pertemuan ya,” kataku. Semua menganggukkan kepala.
Dengan panjang lebar aku jelaskan kebiasaan bagi penghuni kamar yang baru masuk, berikut semua kewajibannya. Mulai dari rokok tiga bungkus sebagai tanda perkenalan atau menyanyi tiga lagu, hingga uang bulanan kamar Rp 600.000.
Juga memperkenalkan satu demi satu penghuni kamar 10 berikut kasus yang melilitnya. Setelah itu, aku minta para tahanan baru mengenalkan diri masing-masing.
Tahanan baru yang berpostur tinggi besar dengan tato bergambar harimau di lengan kanannya, berdiri. Tegap. Tetap di tempat yang telah ditentukan buatnya.
“Perkenalkan, nama saya Hendri,” kata dia dengan suara lantang.
“Mulainya pakai assalamualaikum kalau muslim. Kalau non muslim, selamat malam. Jangan langsung-langsung aja, bos,” ucap Nedi, memotong.
“Oh iya, maaf. Assalamualaikum. Perkenalkan nama saya Hendri. Umur 52 tahun. Saya kena kasus perampokan,” kata pria berbadan tinggi besar itu kemudian.
“Ceritain kasusnya, om,” Tomy menyela.
Hendri mengalihkan pandangannya. Menatap kami semua. Bergantian. Seakan ingin mengetahui kesungguhan kami dalam mengenalnya.
Tatapannya berhenti padaku. Aku menganggukkan kepala. Memahami apa yang ia inginkan. Persetujuan kepala kamar.
“Sebenernya, saya ini buronan. Enaknya pakai kata aku aja ya, kurang pas kayaknya pakai saya,” ujar Hendri, seulas senyum sempat ia tunjukkan.
“Cocok. Kalau pakai kata aku, kita bener-bener nyatu. Dan sebenernya, emang yang di kamar ini ya nyatu. Nggak boleh ngerasa beda-beda,” Nedi menyahut.
“Siap. Aku ulangi ya. Aku ini sebenernya buronan kasus perampokan. Tepatnya kasus pecah kaca. Kejadiannya empat tahun silam. Tiga kawanku sekarang sudah keluar penjara, kena vonis dua tahun. Aku baru masuk,” jelas Hendri sambil nyengir.
“Kabur kemana emang selama ini, om?” tanya Arya. Penasaran.
“Aku kabur ke tempat bapak angkatku. Tinggal di gunung. Ngebon disana. Nanem sayuran dan buah-buahan. Lokasinya juga jauh dari sini, jadi aman-aman aja aku selama ini,” lanjut Hendri.
“Terus kok bisa ketangkep?” tanya Arya lagi.
“Dua minggu lalu, aku dapet kabar, anak gadisku mau operasi. Kena kanker otak. Awalnya, aku nggak mau pulang. Takut ditangkep. Tapi hatiku malah nggak pernah tenang. Kepikiran terus sama anakku yang mau operasi. Akhirnya aku putusin, pulang ke rumah. Subuh-subuh aku masuk rumah, eh jam 12 siang, dateng polisi ngegerebek. Ya sudah, aku pasrah. Dan akhirnya aku disini inilah,” kata Hendri mengurai kisah akhir perjalanan buronannya.
Kami semua terdiam mendengar perkataan Hendri. Perjalanan hidupnya begitu penuh warna. Terbawa arus tindak kriminalitas, ia harus menghilang dengan hidup di pegunungan selama beberapa tahun.
Dan akhirnya, atas nama rasa kasih sayang kepada anak, ia memilih kembali ke rumah. Meski berujung masuk bui.
“Anaknya sudah operasi belum, om,” kata Hasbi, yang tampak begitu memperhatikan cerita Hendri.
“Rencananya tadi siang. Nggak tahu kayak mana hasilnya. Tapi aku puas, karena sempet melukin anak gadisku beberapa jam sebelum ditangkep. Dia juga seneng bener, aku pulang. Dan dia malah nyuruh aku nyerahin diri sebelum ditangkep,” lanjut Hendri.
“Kok malah nyuruh nyerahin diri gitu, kenapa, om?” tanya Tomy.
“Katanya biar aku tenang jalani sisa hidupku kalau sudah nebus kelakuanku dulu. Keluarga juga tenang karena bisa ngelihat aku kapan aja di penjara. Kalau selama ini kan mereka nggak pernah ketemu aku. Mana rumah juga sering diawasi sama polisi,” urai Hendri.
“Emang dulu kejadian pecah kacanya kayak mana, Hen?” tanya Asnawi.
Belum sempat Hendri menjawab, aku langsung memberi isyarat untuk tidak dilanjutkan pembicaraannya.
“Oke, Hendri. Nanti aja cerita soal kasus pecah kacanya. Terus gimana soal kewajiban kamar?” ucapku, memotong.
“Siap, Be. Besok sore aku beresin,” kata Hendri dengan mantap.
“Yakin besok sore beres, om?” tanya Tomy, dengan wajah ragu.
“Yakin. Besok siang kawanku yang dulu sama-sama di kasus ini dan sudah bebas, mau kesini. Dia kan sudah tahu apa yang aku butuhin. Pastilah dia bawa uang,” jelas Hendri. Ada seulas senyum di wajahnya yang keras dan sangar. (bersambung)