Sajadah (ist/inilampung) |
Oleh, Dalem Tehang
SEPENINGGAL mandor dan pekerja renovasi kamar, petugas piket meminta Bagus memanggil semua kepala kamar yang hari ini tempatnya direnovasi.
Hanya dalam hitungan detik, para kepala kamar telah berdiri di balik jeruji besi pos penjagaan.
“Saya pengen denger, gimana hasil kerja tukang tadi, rapih nggak. Atau ada komplain kurang apa,” kata petugas piket kepada para kepala kamar.
“Hasil kerjanya rapih, Dan. Juga cepet dan bersih. Nggak ada bekas semen atau cat yang berceceran di lantai. Paling cuma percikan aja,” kata Rahmat, kepala kamar 8.
“Yang lain gimana?” tanya petugas lagi.
Para kepala kamar yang lain hanya mengaminkan pernyataan Rahmat.
“Jadi sudah pas ya. Jangan nanti waktu diperiksa komandan, kalian ngomong beda lagi. Kalau sampai ada yang nganeh, pasti saya kasih sanksi,” lanjut petugas jaga. Matanya menatap tajam ke arah para kepala kamar yang berdiri di balik jeruji besi.
“Siap, Dan. Kami tanggungjawab sama apa yang kami sampein,” kata Rahmat lagi, diiringi anggukan kepala kamar lainnya.
“Oke kalau gitu. Ya sudah, kembali ke kamar dan cepet bersihin lagi kamar masing-masing,” sambung petugas piket.
Aku pamit untuk kembali ke kamar. Pun Bagus. Ada kepuasan tersendiri hari ini mengawasi pekerjaan renovasi kamar. Para tukang yang kerja memang profesional dan tidak banyak berleha-leha. Sehingga pekerjaan bisa dituntaskan lebih cepat beberapa jam dari waktu yang telah ditentukan. Hasilnya pun cukup memuaskan.
Aku berdiri cukup lama di depan pintu kamar. Memandangi sekeliling kamar 10. Temboknya berwarna putih bersih. Dan pengecatannya benar-benar rapih.
“Pangling ya, Be. Kamar kita jadi bagus. Kayak kamar pengantin aja. Putih bersih gini,” kata Tomy sambil memandangiku yang masih berdiri di depan pintu kamar.
“Iya, pangling emang, Tom. Rapih bener hasil kerja tukang tadi. Catnya nggak banyak berceceran juga ya,” ujarku.
“Cepet kerjanya juga, Be. Terus mereka langsung ngelap sendiri kalau ada cat yang ceceran. Bagus emang mereka. Kalau suatu saat ada borongan bangunan, bolehlah pakai tukang ini,” kata Irfan, mengacungkan jempolnya.
“Maaf, Be. Yang baru masuk ini barangnya taruh dimana?” tiba-tiba Hasbi menyela.
“Taruh dulu dimana aja. Nanti malem baru kita susun formasinya. Sekarang kita asharan dulu,” sahutku, dan langsung ke kamar mandi. Wudhu.
Seusai asharan, buru-buru aku mandi. Memakai air di dalam ember yang telah disiapkan Hasbi. Aku minta yang lain mandi bergantian, juga mengambil air dari keran di dekat pos penjagaan dengan bergiliran.
“Cepet gantian mandinya. Biar ember yang kosong langsung diisi dari keran di samping pos penjagaan. Inget, kita berebutan sama penghuni empat kamar lain yang hari ini bak mandi mereka juga diperbaiki. Jangan lelet, harus gerak cepet,” kataku mengingatkan kawan-kawan.
Tomy, Irfan, Atmo, dan Arya bergerak cepat. Mengambil ember yang kosong dan membawanya ke dekat pos penjagaan. Mengisi air dari keran yang ada disana.
“Be, disuruh ke pos. Ada bunda sama keluarganya,” kata Tomy saat masuk kamar sambil membawa ember berisi air yang ia unjal.
Bergegas aku memakai pewangi badan, dan keluar kamar. Berjalan cepat menuju pos penjagaan. Hatiku riang gembira.
“Kap, ditunggu ibu ini,” kata seorang petugas piket, dan langsung membuka pintu pemisah pos penjagaan dengan kompleks ruang tahanan.
Aku sempat menghentikan langkah. Ragu. Namun petugas itu memberi isyarat, mempersilahkan aku keluar.
Aku lihat istriku tengah berbincang dengan dua orang yang bersamanya. Ternyata tante dan paman istriku. Kami pun langsung berpelukan. Ada tangis penuh haru yang meletup.
“Tante sama om ini sudah lama sebenernya pengen ketemu ayah, tapi baru hari ini bunda ada waktu agak lowong di kantor, maka tadi langsung kontak mereka. Biar bisa agak lamaan ketemunya,” kata istriku saat ku peluk.
“Terimakasih banyak ya tante dan om. Mohon maaf sudah nyusahin keluarga,” kataku dengan suara tercekat, dan kembali menyalami mereka dengan penuh hormat.
“Tetep sabar ya, nak. Kita nggak pernah tahu mau kayak mana jalan hidup ini. Jalani dan syukuri aja,” ucap tante sambil memelukku. Ada keharuan dan kerinduan yang begitu mendalam.
Perlahan, istriku Laksmi membawa kami dalam suasana ceria. Seakan aku hanya sedang kontrak tempat tinggal saja, bukan tengah menjalani proses hukum dan karenanya harus ditahan.
Mendadak, om menanyakan kondisi kesehatanku. Tampak ia cukup prihatin melihat badanku yang mengurus, sama seperti yang disampaikan Laksa.
“Alhamdulillah saya sehat aja selama ini, om. Kalau pagi nyempetin olahraga muter-muter jalan di selasar. Ditambah terus dikirim vitamin sama Laksmi. Juga kemarin Laksa bawain saya vitamin. Inshaallah kesehatan saya selalu terjaga, om,” kataku mengupas kekhawatirannya.
“Syukur kalau gitu, nak. Setahu om dari cerita kawan-kawan yang masuk, di bui itu badan gampang bener sakit. Ada aja penyebabnya. Apalagi tidurnya kan cuma di lantai. Nggak pakai alas, juga tanpa kipas angin apalagi ac. Pastinya, ya memang kurang sehat sirkulasi udara di kamar, dan ini yang sering jadi penyebab virus menyerang,” urai om sambil memperhatikan aku.
“Kalau Mario tidurnya pakai alas kok, om. Pakai sajadah. Jadi ngurangin hawa dingin dari lantai juga,” kata istriku Laksmi.
“O, boleh pakai alas sajadah ya, nak. Ya syukur kalau gitu. Kalau cerita kawan om yang dulu pernah masuk sini juga, nggak boleh pakai alas apa-apa. Pokoknya ya langsung lantai itulah jadi tempat tidurnya. Ngampar aja,” tanggap om.
“Alhamdulillah, saya dikasih sama petugas untuk pakai sajadah jadi alas tidur selama ini, om. Ya tetep ada kemudahan dikasih Allah seberat apapun kondisinya,” jelasku sambil tersenyum.
Tanpa terasa, adzan Maghrib telah berkumandang. Buru-buru istriku dan tante dengan om berpamitan. Sebelum bersalaman, istriku memberikan tiga kantong plastik berisi makanan kepadaku, dan ada satu kantong plastik lagi ia peruntukkan bagi petugas piket.
“Ini yang satu kantong plastik, isinya buah-buahan. Dari tante sama om. Dan ini amplop isi uang juga dari tante dan om,” kata istriku seraya menaruhkan amplop ditanganku.
“Amplopnya bunda pegang aja, kalau ayah ada perlu-perlu, nanti bilang,” kataku dan kembali menyerahkan amplop berisi uang ke tangan istriku.
“Pegang aja-lah, nak. Disini kan perlunya ndadak-ndadak. Iya kalau pas Laksmi kesini bisa cepet ditangani,” ucap tante.
“Selama ini kalau ada yang ngasih amplop emang disuruh saya yang pegang, te. Dari adek-adek Mario juga semua diserahin ke saya, biar saya ngaturnya. Cuma dari Laksa yang langsung dia mau pegang,” kata istriku, menjelaskan kebiasaanku selama di tahanan.
Ku peluk istriku cukup lama. Menyatukan jiwa dan raga dalam geliat kesabaran dan keikhlasan yang masih harus terus dipaksakan.
Ada setetes air bergulir di pipi istriku. Ku hapus dengan pelan sambil mengecup pipinya. Romantisme berbalut keharuan itu, ternyata, begitu mempesona getarannya.
Tante dan om bergantian memelukku. Mereka begitu terharu dan tidak kuasa menahan air matanya. Ekpresi jiwa yang benar-benar menyatu dalam realita yang tengah aku alami. Terpuruk.
Sebelum meninggalkan pos penjagaan, istriku menyerahkan satu kantong plastik kepada petugas piket.
“Terimakasih banyak, bunda. Rejekinya bertambah dan berkah,” kata petugas piket dan menengadahkan kedua tangan, menatapkan wajahnya ke langit. Mendoakan.
Seperti biasa, aku pandangi langkah istriku, yang kali ini bersama tante dan omnya, menuju ke tempat parkir kendaraan di pelataran mapolres. Begitu haru aku melihat tapakan mereka. Tampak gontai dan seakan enggan kaki untuk dilangkahkan. (bersambung)