Oleh, Dalem Tehang
“AKU emang salah, Gus,” ucap Yosep pelan, setelah menarik nafas panjang.
“Maksudmu salah kayak mana?” tanya Bagus dengan penuh kesabaran. Intonasi suaranya amat datar.
“Ini sebenernya cerita yang sangat pribadi. Yang selama ini jadi privacy-ku. Tapi nggak apalah aku sampein aja,” lanjut Yosep, terus menata ketenangannya kembali.
Aku dan Bagus berpandangan. Sesungguhnya, ada ketidaksabaran dari kami dengan gaya Yosep, yang tampak sangat bertele-tele dan penuh keraguan.
Namun, disinilah percik kesabaran itu harus terus dikumpulkan. Bukan justru ditaburkan dan ditepis, hingga yang naik ke permukaan pada akhirnya tetaplah emosi dan amarah.
“Santai aja, Sep. Kalau nurut kamu perlu diceritain, ya omongin. Kalau nggak juga, nggak masalah buat kami. Yang penting, kamu mau belajar dari kejadian tadi. Malu-lah kepala kamar dilawan isi kamar sendiri,” tutur Bagus dengan kalem.
Wajah Yosep berubah. Memerah. Tampak ada sesuatu yang tengah bertarung di dalam batinnya. Menggelegak, yang sulit dipadamkan.
“Sebelum aku cerita, aku mohon bener sama kamu Bagus untuk nggak menuhin maunya Danu pindah ke kamar Babe. Bisa rusak wibawaku kalau mau Danu itu kesampeian,” ujar Yosep, setelah berdiam beberapa waktu.
“Nggak usah mikirin soal itu, Sep. Aku sama Babe pasti ngejaga nama baik kamu di mata kawan-kawan kamarmu,” sahut Bagus, tetap dengan tenang.
“Janji ya, Gus. Jangan nanti nggak tahunya Danu tetep pindah ke kamar Babe. Aku mohon bener, jangan sampai itu kejadian,” lanjut Yosep dengan penuh pengharapan.
“Kalau dia yang minta ke petugas piket, dan di-oke-in kayak mana? Oke, aku janji nggak bakal nyetujuin dia pindah kamar, tapi kamu juga jaga di petugas piketnya. Jangan nyerahin ke aku aja,” kata Bagus sambil menatap wajah Yosep.
“Iya, nanti aku juga minta tolong ke petugas piket tahti. Aku ngomong ini kan karena kamu kepala blok, Gus. Mau kamu pasti di-oke-in sama petugas piket,” sambung Yosep.
“Gus, kita keliling kamar yok. Tugas kita ngawasin tukang yang lagi kerja lebih penting,” kataku, menyela.
Bagus memahami, jika aku sudah jenuh dengan gaya bicara Yosep yang berputar-putar dan lebih menyukai perdebatan berdasarkan perkiraan-perkiraan.
“Sebentar sih, Be. Aku lagi mau cerita ini,” ucap Yosep mencoba menahanku.
“Cerita aja ke Bagus, sama aja kok, Sep. Aku ngecek kerjaan dulu,” sahutku sambil meninggalkan Bagus dan Yosep yang masih duduk di teras depan kamar 1.
Tidak aku duga, ternyata Bagus juga berdiri. Berjalan mengikuti langkahku yang masuk ke kamar 2. Tinggallah Yosep sendirian. Duduk termenung.
Setelah kami melakukan pengecekan kamar dan berbincang dengan pekerja serta kepala kamar, disepakati kamar 2 telah selesai total renovasinya. Hanya bak mandi yang belum bisa dipergunakan hingga besok petang.
Selepas itu, aku dan Bagus masuk ke kamar 4. Tampak masih dilakukan pengecatan akhir di bagian atas bak mandi. Di kamar ini, bak mandinya tidak dilakukan perbaikan karena masih relatif bagus dan sama sekali tidak ada rembesan.
Berturut-turut kami lakukan pengecekan hingga ke kamarku, kamar 10. Pun sudah selesai secara keseluruhan.
“Sudah sip, Be. Rapih dan diulang dua kali tadi ngecatnya. Cuma bak mandi baru besok siang bisa diisi air lagi. Biar kering bener tambelannya,” jelas Irfan yang mengawasi langsung pekerjaan renovasi bersama Arya.
“Gus, sebentar lagi Ashar. Kamu lapor ke piket, minta mereka ngontrol semua kamar sama mandornya. Kalau sudah oke semua, biar para tukang itu pulang. Kan besok mereka masih lanjut kerjaannya,” kataku saat kami keluar kamar 10.
“Terus kayak mana soal si Yosep?” ujar Bagus, memandangku, meminta saran.
“Terserah kamu aja. Aku sudah males dan muak sama dia,” sahutku, apa adanya.
Bagus tidak menjawab. Ia hanya mengangguk, dan melanjutkan langkahnya ke pos penjagaan. Aku bergabung dengan kawan-kawan penghuni kamar 10 yang sedang bercengkrama di sudut selasar depan kamar.
“Be, kawan-kawan yang baru masuk ini pengen ngobrol. Mereka tanya dimana tempatnya, mau taruh bawaannya,” kata Nedi, begitu aku duduk ndeprok.
“Nanti ya. Di kamar kan masih ada tukang. Abis ini biar disapu dan dipel dulu sama Hasbi. Kalau sudah bersih dan rapih, baru kita semua masuk kamar,” kataku sambil memandang empat orang tahanan yang baru masuk.
“Siap, Be,” ucap salah satunya dengan menganggukkan kepala.
Seorang tamping mendekat, memberitahu jika aku dipanggil petugas piket. Buru-buru aku berjalan berdampingan dengan tamping menuju pos penjagaan.
Sesampai di dalam pos penjagaan, petugas piket menjelaskan ia bersama mandor akan melakukan pengecekan atas hasil renovasi hari ini.
“Kap sama Bagus kan sudah ngecek langsung barusan ya? Gimana hasilnya?” tanya petugas itu.
“Secara keseluruhan sudah rapih. Nggak ada komplain juga dari kap kamar masing-masing. Kalau bak mandi, memang baru besok siang atau sore bisa diisi lagi, menunggu proses pengeringan tambalannya,” kataku mengurai.
“Jadi bisa dibilang nggak ada masalah-lah ya. Kalau gitu ya sudah, kami percaya sama hasil pengecekan kap dan Bagus aja,” sahut petugas itu, enteng.
“Baiknya tetep dicek lagi, pak. Biar lebih mantap,” ujarku, menyela.
“Bisaan aja kap ini. Ya sudah kalau gitu. Ayo kita ngecek bareng-bareng,” kata petugas itu dan membuka gembok pintu pemisah pos penjagaan dengan ruang sel.
Aku, Bagus, seorang petugas piket, dan mandor memeriksa lima kamar yang hari itu dilakukan renovasi. Tampak petugas cukup puas dengan hasil kerja para tukang hari ini.
“Kalau sudah bersih dan rapih gini, jangan ada lagi yang masang paku buat ngegantungin pakaian ya, Gus,” kata petugas piket mengingatkan Bagus untuk disampaikan kepada semua kepala kamar.
“Siap, Dan,” tanggap Bagus dengan cepat.
Seusai melakukan pemeriksaan, petugas meminta mandor untuk segera menarik anak buahnya dari kompleks ruang tahanan.
“Katanya sampai jam 5 sore, pak. Ini baru mau adzan Ashar. Salah nggak kalau saya ajak kawan-kawan yang kerja ninggalin tempat,” ujar mandor.
“Jam 5 itu kan waktu maksimalnya, pak. Kalau sebelum itu sudah selesai, ngapain lagi nunggu jam 5? Lain kalau memang masih ada yang belum selesai. Kalau sudah semua, ya tarik aja anak buahnya,” urai petugas piket.
“Siap kalau begitu, pak,” kata mandor dan meminta anak buahnya untuk merapihkan peralatan dan keluar kompleks ruang tahanan.
Tepat adzan Ashar menggema dari masjid di samping mapolres, seluruh pekerja dan mandor meninggalkan pos penjagaan setelah dilakukan pemeriksaan yang cukup ketat. (bersambung)