-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

Balada Seorang Narapidana (Bagian 89)

Rabu, 30 Maret 2022 | Rabu, Maret 30, 2022 WIB | 0 Views Last Updated 2022-04-30T06:28:48Z


Oleh, Dalem Tehang


PETUGAS piket membuka pintu penghubung pos penjagaan dengan kompleks ruang tahanan. 


Tujuh tahanan baru pun melangkah masuk. Setelah semua di dalam, pintu kembali digembok.


Bagus sebagai kepala blok tahanan memperkenalkan diri dan meminta tahanan baru berbaris rapih di sudut selasar.


Ke tujuh tahanan baru itu diminta membuka tas dan kantong plastik tempat pakaian dan barang-barang mereka. Mengeluarkan semua isinya. Ditaruh di depan tempat masing-masing berdiri. 


Tidak hanya itu. Semua diperintah Bagus untuk membuka pakaian yang digunakan. Hanya bercelana pendek saja.


Didampingi seorang tamping, Bagus memeriksa semua barang bawaan tahanan baru. Sementara, seorang petugas piket terus mengamati dari sela-sela jeruji besi pemisah pos penjagaan dengan kompleks ruang tahanan.


Kelihatan cermat sekali Bagus melakukan pemeriksaan. Hingga semua kantong celana yang dipakai tahanan baru pun ia geledah. Termasuk lipatan jahitan celana mereka. 


Setelah semua melalui pemeriksaan yang ekstra ketat, Bagus meminta tahanan baru duduk. Berjongkok. 


“Yang kasus perampokan dan penggelapan mobil rental, mana?” tanya dia dengan suara datar.


Empat orang pria yang rata-rata berbadan kekar dan bertato, mengangkat tangannya. 


“Kalian berempat ikut Babe ya. Ini kepala kamarnya. Di kamar 10, paling ujung,” ucap Bagus sambil memperkenalkan aku.


Keempat tahanan baru itu menganggukkan kepalanya dan menatapku sambil berdiri dan mengambil barang bawaan yang sudah dimasukkan kembali ke tempatnya.


Aku bergerak, berjalan menuju arah kamar. Keempat tahanan baru mengikuti dari belakang. Tidak ada ucapan apapun. 


Sesampai di depan kamar, aku minta mereka duduk di sudut selasar. Bergabung dengan kawan-kawan penghuni kamar 10 lainnya.


“Duduk sini dulu. Kamar kita lagi di-cat. Nanti kalau sudah selesai, baru masuk,” kataku pada keempat tahanan baru. Mereka mengangguk dan duduk ndeprok bersama yang lain sambil bersalaman. Memperkenalkan diri.


Aku kembali ke pos penjagaan. Berbincang dengan penjaga dan Bagus. Bertugas mengawasi pekerja renovasi memang membuat kami lebih leluasa. 


Siang menjelang petang itu, suasana agak redup. Awan menggantung tebal di langit. Angin pun terasa enggan bergerak kencang. Semilirnya hanya sesekali saja. 


“Enaknya sambil ngopi ini ya,” celetuk seorang petugas piket sambil memandangku dan Bagus. 


Tidak mau berlama-lama, aku minta tamping menyiapkan arpan, air panas. Dan memintanya memberitahu Hasbi untuk menyiapkan lima cangkir kopi.


Bagus pun bergerak. Memanggil pelayan kedai kecil di depan pos penjagaan. Memesan panganan kecil. Pisang goreng, tempe goreng, dan combro. 


Saat kami masih berbincang ringan sambil menikmati kopi hangat dan panganan kecil, terdengar suara teriakan dari kamar 6. 


Buru-buru aku dan Bagus meminta petugas piket membukakan pintu gerbang pemisah pos penjagaan dan kompleks ruang tahanan. Kami berlari dan langsung masuk ke kamar 6. 


Kami melihat, Yosep kepala kamarnya, tengah duduk menundukkan wajahnya dalam-dalam sambil memegangi kepalanya. Sementara seorang tahanan lain tengah berdiri di depannya, memegang kuas cat pekerja. Wajahnya penuh amarah. Hampir setengah lantai kamar dihiasi dengan tumpahan cat. Para pekerja dan tahanan lain berdiam seribu bahasa.


“Ada apa ini?” tanya Bagus, dan spontan menarik Yosep yang duduk meringkuk.


Terbelalak mata kami. Ternyata, wajah Yosep penuh dengan lumuran cat. Sehingga ia tidak bisa membuka matanya. Kepalanya benjol besar, akibat kena hantaman keras. 


“Kamu kenapa?” tanya Bagus pada tahanan bernama Danu yang masih memegang kuas cat dan berdiri penuh amarah.


“Dia marah-marah terus kerjanya, Bos. Emangnya kami anak buah dia, jadi bisa seenaknya aja kalau marah,” ujar Danu dengan suara bergetar. Menahan emosi.


“Jadi mau kamu apa? Mau gagah-gagahan? Nggak gini cara nyelesaiin masalah,” kata Bagus menasihati.


“Terserah, sekarang mau apa juga aku siap, Bos,” sahut Danu, dengan nada tinggi.


Spontan tangan Bagus bergerak. Plak. Wajah Danu memerah, terkena pukulan tangan Bagus. Anak muda itu hanya diam. Matanya masih terus menyorotkan kemarahan. Tangannya yang memegang kuas, bergetar kencang. 


Aku dekati Danu. Ku ambil kuas di tangannya. Mendadak, ia memelukku. Dan menangis.


“Tolong aku, Be. Aku nggak kuat dimarahin dan dimaki-maki terus sama kap. Kalau bisa, pindah ke kamar Babe aja,” ucap dia dan terus memelukku dengan eratnya.


“Tenang ya, Danu. Yang sabar. Nanti kita obrolin. Percaya aja, nggak ada masalah yang nggak bisa diurai,” tanggapku dan juga memeluk Danu.


Setelah beberapa saat, Danu tampak lebih tenang. Pada saat bersamaan, Bagus telah menghapus cat yang memenuhi wajah Yosep. Membilasnya di kamar mandi.


“Sekarang kamu minta maaf sama kap kamu,” kataku memerintahkan Danu.


Anak muda berusia 30 tahunan itu mendekati Yosep. Dengan kedua tangannnya, ia mencium tangan Yosep dan menyampaikan permohonan maaf.


“Iya, aku maafin, Danu. Jangan lagi berbuat kasar ya. Yang masuk penjara itu pasti sudah siap semuanya. Mati juga nggak jadi masalah lagi. Jadi aku kasih tahu sama kamu, jangan kasar sesama tahanan,” kata Yosep dengan datar sambil menatap Danu.


Seketika Danu memeluk Yosep dan menangis sejadi-jadinya. Berkali-kali, ia menyampaikan permohonan maafnya. Seorang petugas piket yang berdiri di luar kamar, tampak menggeleng-gelengkan kepalanya. Entah apa yang ada di benaknya.


Aku dan Bagus keluar kamar. Setelah memberitahu pekerja untuk melanjutkan tugasnya. Bagus mengajak Yosep keluar. Memberinya air minum dan rokok. Mengobrol di sudut depan kamar 1. Ada teras kecil disana. 


“Kenapa kamu bisa dilawan penghuni kamar gitu, Yosep?” tanya Bagus. Setelah kepala kamar 6 itu menenangkan dirinya.


Yosep menengokkan wajahnya ke arahku. Yang berdiri di depan dia dan Bagus.


“Kamu keberatan aku ngedenger? Kalau gitu, aku ngecek kamar-kamar lain aja,” ucapku, mencoba memahami makna tatapan Yosep.


“Nggak, bukan gitu maksudku, Be. Justru aku minta Babe tetep disini. Aku butuh masukan,” sahut Yosep dengan cepat dan berdiri memegangi tanganku. Menahan untuk aku tidak beranjak pergi.


Bagus memberi isyarat agar aku tetap berdiri di tempatku. Tidak meninggalkan mereka berdua. 


Terkadang, kita memang sangat mudah menyimpulkan sesuatu. Meski sebenarnya kita memahami, ketika kita merasa benar, belum tentu orang lain salah, juga sebaliknya. Itulah dinamika kehidupan yang acapkali kita remehkan. (bersambung)

×
Berita Terbaru Update