Penulis Artikel : Mohammad Hasyim, Pengawas Pendidikan (purna tugas), Pengurus Dewan Pendidikan Banyuwangi, mengajar di IAI Ibrahimy Genteng banyuwangi
Kabar tidak menyenangkan datang dari Kementrian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Tehnologi (Kemdikbudristek). Melalui Permendikbudristek nomor 6 tahun 2021 tentang petunjuk tehnis pengelolaan dana BOS reguler, Mendikbud Nadiem Makarim tidak akan menyalurkan dana BOS kepada sekolah-sekolah yang jumlah muridnya kurang dari enam puluh (60) siswa selama tiga tahun terahir.
Sontak permendikbud ini mengundang reaksi dari sejumlah badan penyelenggara pendidikan swasta yang tergabung kedalam aliansi organisasi penyelenggara pendidikan. Tak kurang dari Majlis Dikdasmen PP Muhammadiyah, LP Maarif PBNU, PB PGRI, Taman Siswa, hingga Majlis Pendidikan Katholik serempak menolak Permendikbiristek ini.
Bagi mereka, dan juga kita, jika permendikdubristek ini benar-benar dilaksanakan hal ini berarti lonceng kematian bagia sebagian besar sekolah sawsta.
Selama ini sebagian besar sekolah swasta menggantungkan biaya operasional sehari-hari dari Dana Bantuan Operasional Sekolah atau BOS itu. Melalui dana BOS berbagai tagihan sekolah dibayarkan. Dengan dana BOS kegiatan kurikuler , ko kurikuler dan ekstra kurikuler dilaksanakan. Dengan dana BOS guru-guru swasta di gaji, dan dengan dana BOS juga usaha-usaha peningkatan mutu sekolah dilaksanakan. Jika sumber pendanaan utama sekolah tersebut dihentikan maka otomatis kegiatan-kegiatan layanan pendidikan itu tidak lagi bisa dilaksanakan dan pada giliranya banyak sekolah-sekolah swasta kecil akan gulung tikar alias mati.
Berdasarkan hasil tinjau lapang – saat masih aktif sebagai pengawas pendidikan – penulis mendapati beberapa sekolah, terutama swasta kecil memiliki jumlah siswa kurang dari enam puluh peserta didik. Temuan ini kiranya masih konssiten dengan pengakuan salah seorang Kepala SMP swasta di awal tahun ajaran baru tahun ini.
Berdirinya sekolah-sekolah baru diradius yang berdekatan misalnya, ditengarai menjadi penyebab berkurangnya jumlah murid baru di sekolah yang sudah lama berdiri/beroperasi.
Juga jumlah calon peserta didik baru yang setiap tahun terus mengalami menyusutan di semua jenjang. Persaingan ketat antar sekolah swasta dengan beragam tawaran yang cenderung kurang sehat juga menjadi sebab sekolah-sekolah swasta kecil tak mampu meraup sejumlah siswa sesuai pagu yang disediakan di sekolah itu, dan sebab – sebab lainya, seperti pergeseran persepsi masyarakat tentang pendidikan, sekolah dan dunia kerja .
Lalu adakah solusinya ? solusi realistik dan cepat tentu membatalkan dan tidak memberlakukan Permendikbudristek tersebut dalam waktu dekat. Hal ini sejalan dengan tuntutan Aliansi Penyelenggara Pendidikan Swasta.
Disamping karena mengancam keberlangsungan sekolah swasta, juga karena sejatinya menyelenggarakan dan memberikan pendidikan untuk segenap warga negara itu adalah kwajiban negara/pemerintah. Hal ini sejalan dengan beragam tawaran yang cenderung kurang sehat juga menjadi sebab sekolah-sekolah swasta kecil tak mampu meraup sejumlah siswa sesuai pagu yang disediakan di sekolah itu, dan sebab – sebab lainya, seperti pergeseran persepsi masyarakat tentang pendidikan, sekolah dan dunia kerja .
Lalu adakah solusinya ? solusi realistik dan cepat tentu membatalkan dan tidak memberlakukan Permendikbudristek tersebut dalam waktu dekat. Hal ini sejalan dengan tuntutan Aliansi Penyelenggara Pendidikan Swasta.
Disamping karena mengancam keberlangsungan sekolah swasta, juga karena sejatinya menyelenggarakan dan memberikan pendidikan untuk segenap warga negara itu adalah kwajiban negara/pemerintah. Hal ini sejalan dengan pasal 31 Undang Undang Dasar 1945, “ pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, ....... dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Penghentian penyaluran dana BOS reguler juga berpotensi mendiskriminasi dan bahkan memutus hak seorang anak untuk mendapatkan pendidikan dan bertentangan dengan amanat konstitusi kita, bahwa “ setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.
Pemerintah, dalam hal ini Kemdikbudristek harusnya menyadari bahwa sebagian besar sekolah swasta kecil tersebut berada di daerah-daerah pinggiran, yang meski dengan segala keterbatasanya telah banyak berkontribusi mencerdaskan kehidupan bangsa. Bahkan ahir-ahir ini, kekurangan siswa baru setiap tahunya tidak lagi didominasi oleh sekolah swasta kecil pinggiran, tetapi telah juga dialami sekolah-sekolah swasta di pusat-pusat kota. Banyaknya guru-guru swasta yang harus mengimbas dilebih satu sekolah untuk memenuhi bebaan kerja minimal bagi mereka yang bersertifikat pendidikan dan memndapatkan tunjangan profesi guru adalah kenyataan yang membenarkan fakta ini.
Regrouping ?, menggabungkan atau meregroup beberapa sekolah menjadi satu sekolah- meski menjadi pilihan praktis , nyatanya tidak semudah yang diucapkan. Pengalaman penulis beberapa tahun lalu menguatkan fakta ini.
Terjadi banyak tarik ulur antara satu sekolah dengan sekolah lain, itu untuk sekolah negeri.
Kesulitan tentu akan semakin kompleks dan bertambah-tambah jika rencana penggabungan itu dilakukan antar sekolah swasta.
Lazimnya sekolah sekolah tersebut dikelola oleh badan penyelenggara pendidikan yang berbeda, dengan visi, misi dan tujuan yang khas pula antara satu sekolah dengan sekolah lainya dan tidak mudah diintegrasi.
Disamping banyaknya syarat administrasi dan prosedur yang harus dipenuhi. Jadi proses ini – meski dikehendaki oleh Kemdikbudristek – adalah pilihan yang rasanya hampir mustahil bisa dilakukan dengan mudah dan dalam waktu dekat.
Peran pemerintah daerah?, jika Mendikbudristek keukeuh melaksanakan Permendikbudristek dengan mengabaikan protes dan /atau penolakan dari asosiasi penyelenggara sekolah swasta maka tambatan terahir ada pada masing-masing pemerintah daerah.
Melalui undang undang otonomi daerah – yang salah satunya kewenangan pengelolaan pendidikan, terutama pendidikan dasar - Pemda bisa mengeluarkan kebijakan afirmasi dengan meng – take over – dana BOS untuk sekolah-sekolah dengan jumlah murid kurang dari 60 siswa dengan tetap melakukan pembinaan intensif sehingga sekolah sekolah tersebut ke depan bisa menjadi lebih baik lagi.
Pilihan ini kiranya juga sejalan dengan Undang Undang Dasar Negara kita bahwa “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”, wallohu a’lam.
_________________