Empat IRT yang ditahan pihak Kejari Praya dengan tuduhan melakukan perusakan, di Lombok Tengah, NTB. Dua diantaranya membawa balita karena masih menyusui. (Foto: Ist) |
MATARAM - Empat ibu rumah tangga (IRT) ditahan Kejari Praya lantaran melempar gudang rokok di UD MAWAR, Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah.
Ironisnya, dua dari empat IRT membawa balita dan menyusui di balik jeruji penjara.
Mereka ditangkap dan ditahan atas tuduhan pengerusakan. Padahal mereka melakukan protes karena pemilik pabrik tidak pernah mendengar aspirasi mereka. Banyak anak-anak yang sakit akibat polusi dari pabrik. Bahkan, warga sekitar sama sekali tidak dipekerjakan di pabrik.
Diketahui, masing-masing IRT asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah adalah Nurul Hidayah (38), Martini (22), Fatimah (38) dan Hultiah (40). Mereka merupakan warga Dusun Eat Nyiur yang diancam pasal 170 KUHP ayat (1) dengan ancaman pidana lima sampai tujuh tahun kurungan penjara atas tuduhan pengerusakan.
Menyikapi kasus tersebut para advokat yang tegabung pada Tim Hukum "Nyalakan Keadilan untuk IRT" tergerak untuk memberikan pendampingan hukum kepada empat IRT yang tengah tersandung masalah hukum tersebut.
Tidak tanggung-tanggung ada sekitar 50 advokat yang ikut bergabung dalam Tim Keadilan untuk IRT tersebut. Itu belum termasuk praktisi, pegiat perempuan, NGO, akademisi dan elemen lainnya.
“Banyak, ada sekitar 50 orang advokat yang sudah menyatakan kesiapan untuk ikut dalam gerakan ini,” ungkap Koordinator Tim Keadilan untuk IRT, Ali Usman Ahim, Sabtu, 20 Februari 2021.
Sebagai langkah awal, pihaknya sudah mulai turun melakukan investigasi, mengumpulkan keterangan yang dibutuhkan dari para pihak terkait untuk mengetahui kronologis kejadian serta duduk persoalan sesungguhnya yang terjadi.
Selain menjenguk empat IRT di Rutan Praya, pihaknya juga sudah menemui pihak keluarga serta melakukan olah TKP di lokasi kejadian kasus dugaan pengerusakan yang menjadi dasar kasus hukum tersebut.
Nantinya juga ada rencana mengajukan permohonan pra peradilan terkait kasus tersebut. Persetujuan kuasa hukum dari pihak keluarga para IRT terkait rencana itu, saat ini tengah diurus.
"Karena ini berkaitan dengan kasus hukum, tentu langkah-langkah yang akan ditempuh sesuai dengan ketentuan hukum yang ada," tandasnya.
Sekretaris DPD Partai Gerindra NTB yang juga mantan Direktur Eksekutif WALHI NTB ini mengatakan, pihaknya tergerak untuk ikut membantu para IRT bukan karena apa-apa. Tapi lebih sebagai bentuk gerakan moral dan kemanusiaan.
Menurutnya kasus yang membelit para IRT tersebut aneh sampai harus diproses hukum. Karena ada langkah-langkah restoratif justice yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Tanpa harus melalui proses hukum. Apalagi penyebabnya hanya persoalan sepele.
Anggota tim hukum lain, Apriadi Abdi Negara yang juga Ketua LBH Pencari Keadilan menegaskan bahwa hukum dibuat untuk menghadirkan rasa keadilan bagi masyarakat. Bukan malah untuk melanggengkan penindasan.
"Kalau penegakan hukum model seperti ini, jelaslah tidak berkesesuaian dengan tujuan penciptaan hukum itu sendiri," katanya.
"Ini ada ibu yang anaknya sedang sekarat harus ditahan. Ada juga yang terpaksa harus membawa serta anaknya yang masih balita ikut ke penjara, di mana rasa keadilan dan kemanusiaan itu?" ujar Abdi dengan nada prihatin.
Hal itulah yang kemudian menggerakkan hati berbagai elemen masyarakat di daerah ini untuk membantu upaya penyelesaian terhadap kasus yang menimpa empat IRT beserta keluarganya tersebut.
Anggota tim hukum lainnya, Ikhsan Ramdhani yang juga Ketua FORMAPI NTB menambahkan, berdasarkan hasil investigasi tim, empat IRT tersebut ditahan lantaran dituduh melakukan pengerusakan dengan melemparkan batu ke gudang pabrik tembakau, UD Mawar Putra.
Dua di antara IRT itu memiliki anak balita yang usianya sekitar 1 tahun dan 1,5 tahun ikut bersama ibunya berada di sel karena harus diberikan ASI.
"Setelah kami olah TKP sama sekali tidak kami temukan ada kerusakan, pelapor terlalu mengada-ada dan membual mengenai kerusakan yang timbul akibat perbuatan empat IRT tersebut," cetusnya.
"Saya tidak habis pikir apa yang menjadi dasar pertimbangan obyektif pihak jaksa sehingga menahan mereka, dan kenapa penyidik seperti memaksakan perkara diproses," keluhnya.
Sebelumnya empat orang ibu rumah tangga (IRT) ditahan oleh Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, karena melempar atap gudang rokok perusahaan UD Mawar di Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat.
Dua dari empat IRT membawa balita dan menyusui di dalam penjara.
Mereka ditangkap dan ditahan atas tuduhan pengerusakan. Padahal mereka melakukan protes karena pemilik pabrik tidak pernah mendengar aspirasi mereka. Banyak anak-anak yang sakit akibat polusi dari pabrik. Bahkan, warga sekitar sama sekali tidak dipekerjakan di pabrik.
Masing-masing IRT asal Desa Wajageseng, Kecamatan Kopang, Lombok Tengah adalah Nurul Hidayah (38 tahun), Martini (22 tahun), Fatimah (38 tahun), dan Hultiah (40 tahun). Mereka merupakan warga Dusun Eat Nyiur yang diancam pasal 170 KUHP ayat (1) dengan ancaman pidana penjara selama 5-7 tahun atas tuduhan pengerusakan.
Pengacara Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum (BKBH) Fakultas Hukum Universitas Mataram, Yan Mangandar Putra, mengatakan empat IRT itu hanya melempar atap spandek pabrik hingga penyok. Tidak ada kerusakan parah akibat perbuatan mereka.
"Miris saya kalau bilang ada perusakan. Teman-teman lihat sendiri hanya penyok spandeknya. Tidak ada kerusakan, bahkan tidak bocor," kata Yan saat mengunjungi keluarga korban penahanan pada Sabtu, 20 Februari 2021.
Posisi atap berbahan spandek pabrik di samping belakang yang kebetulan berdekatan dengan rumah warga. Empat IRT melempar karena tidak tahan mencium aroma menyengat polusi pabrik.
Dia mengatakan, banyak anak-anak di lokasi sekitar pabrik mengalami sesak napas akibat polusi. Bahkan, IRT bernama Fatimah nekat melempar spandek pabrik karena anaknya yang menderita lumpuh terus menangis akibat sesak napas dari polusi.
"Salah satunya yang anaknya lumpuh itu. Dia sambil gendong anaknya lempar spandek, karena kasihan dengan anaknya sesak napas terus," ujarnya.
Anak itu sering dibawa berobat ke puskesmas. Puskesmas hanya bisa menyarankan agar anak itu menghindari aroma rokok. Namun ibunya tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain protes kepada pabrik.
Bahkan, anak Fatimah yang menderita lumpuh sering menangis akibat ibunya berada di penjara. Dia tidak dapat jauh dari sang ibu.
Yan Mangandar menjelaskan kejadian pelemparan pada 26 Desember 2020, namun proses hukum terhadap empat IRT begitu cepat hingga dinyatakan berkas perkara lengkap.
"Panggilan pertama 16 Januari, ini saya lihat kok proses hukum begitu cepat. Luar biasa sekali kerja Kepolisian dan Kejaksaan," katanya.
"Luar biasa lagi jaksa mengambil kewenangan penahanan tanpa mempertimbangkan alasan kemanusiaan," ujarnya.