![]() |
Gambar diambil dari situs penulis zonadialektika. wordpress.com |
Oleh: Utsman
PMII UNTAG 45 BANYUWANGI-Hari tani ditetapkan pada 24 September sebagai penanda lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 karena mengandung semangat untuk bebas dari jerat kolonialisme.
Setelah rakyat Indonesia merdeka pada 1945 sisa-sisa penjajah masih kuat dan tidak banyak merubah nasib kaum tani sebagai buruh konglomerat tanah dan perkebunan-perkebunan belanda.
Setelah rakyat Indonesia merdeka pada 1945 sisa-sisa penjajah masih kuat dan tidak banyak merubah nasib kaum tani sebagai buruh konglomerat tanah dan perkebunan-perkebunan belanda.
Sebelum itu di tahun 1957 terjadi Nasionalisasi aset rakyat indonesia yang dikuasai oleh kolonial belanda. Akibat dari upaya pemerintah kolonial untuk tetap mempertahankan wilayah jajahan akhirnya rakyat indonesia melakukan pemogokan di semua perusahaan-perusahaan belanda dan mengambil alih aset nasional.
Kemudiaan aset-aset kolonial berupa produksi perkebunan, perniagaan dan pabrik-pabrik, perusahaan pertambangan, bank-bank, industri perkapalan juga sektor jasa beralih ke tangan pemerintah.
Barulah pada 1960 UUPA disahkan sebagai pedoman dalam mengatur tentang penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria nasional.
Namun tak cukup dengan itu rakyat indonesia terbebas dari ketertindasan. Babak baru watak kolonialisme diwarisi oleh pemerintah. Aset-aset indonesia baik dari institusi maupun perusahaan plat merah/badan usaha milik negara (BUMN) kerapkali menggusur rumah dan merampas tanah pertanian rakyat seakan mendapat atensi untuk menyingkirkan rakyat dari tanahnya walaupun dengan cara kekerasan.
Dosa-dosa dari prektek kekerasan sampai penghilangan nyawa akibat perampasan dan penguasaan tanah rakyat tertutupi dosa-dosa baru atas nama pembangunan dan kepentingan nasional. Dalih mengatasnamakan kepentingan nasional untuk melindungi hajat hidup rakyat namun mengorbankan rakyat.
Semenjak investasi asing mendapatkan panggung pada masa orde baru, lahan-lahan terkonversi menjadi gedung-gedung perkantoran, pabrik-pabrik asing, perusahaan pertambangan, Infrastuktur dan juga temasuk BUMN yang kesemuanya merupakan perkakas asing dalam menjajah rakyat indonesia.
Bila kita perhatikan perkembangan kapitalisme di indonesia hari ini bahwa konsentrasi produksi imperealistis akan merubah bukan hanya masyarakat perkotaan namun pedesaan menjadi pekerja dan alih fungsi lahan-lahan agricultur menjadi pabrik-pabrik.
Perdagangan imperealistis yang dimaksutnya adalah pemusatan alat-alat produksi, tenaga kerja murah, dan bahan baku murah oleh konglomerasi asing ataupun nasional-asing untuk kepentingan pasar internasional.
Demi melanggengkan kepentingan ekonomi kapitalistik pemerintah dikendalikan sebegai kekuatan yang interventif dan penindasan, lalu untuk menutupi kebobrokan rezim ini cara-cara militeristik ditempuh sebagai jalur pembungkaman.
Dalam memelihara pemerintahan para konglomerasi menjadi sumber permodalan politik (oligark) terbentuklah rekayasa demokrasi dari relasi kuasa (pemodal) dan penguasa (elit politisi) untuk melindungi unit-unit usaha dan melancar ekspansi kapitalnya.
Sistem demokrasi mendapatkan ujian berat dari penyelenggaraan politik yang terkooptasi dibawah kendali modal. praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin marak sebut saja misalnya upaya melemahkan penindakan pelanggarakan korupsi melalui wacana revisi undang-undang tentang komisi pemberantasan korupsi (KPK). Pada akhirnya demokrasi berbalik arah menyerang rakyat.
Persoalan penindakan korupsi merupakan persoalan populis tidak ekslusif serta menjadi mercusuar terhadap upaya dan tindak kejahatan yang merugikan negara. Pelemahan pada upaya penanganan tindak korupsi mengindikasikan praktek ruang gelap atau bawah meja akan sulit terendus.
Implikasinya praktek-praktek korupsi dilahan basah seperti sektor perijinan, pertambangan, industri, dll yang merugikan negara baik secara finansial terlebih akan menyebabkan praktek kekerasan nantinya semakin marak atas nama stabilitas politik dan perbaikan iklim investasi.
Rupanya rezim presiden jokowi di periode kedua ini mulai memperlihatkan watak aslinya dengan melonggarkan undang-undang maupun peraturan yang pro rakyat tapi mempersulit ruang investasi untuk masuk.
Aturan-aturan yang dianggap mempersulit masuknya investasi mulai di kebut untuk direvisi mulai dari UU Ketenaga Kerjaan, UU KPK, UU MINERBA, dan UU Pertanahan. Niat buruk ini sudah terendus namun kekuasaan politik dan militer sukses memonopoli rakyat untuk tetap bungkam.
Belum kelar persoalan-persoalan laten dimasyarakat bukan malah mengatasi konflik-konflik rakyat tapi malah semakin membebani dengan aturan baru yang kian mempersempit ruang rakyat untuk memperjuangkan kepastian atas tanah, pekerjaan, bahkan ruang hidupnya.
Dibanyuwangi misalnya, lumbung-lumbung ketahanan rakyat di sektor pertanian baik dari selatan, utara, timur, dan barat terkepung sebagiaan sudah menjadi lumbung industri sebagian dalam ambang perampasan seperti klenik industri tambang emas di hutan lindung gunung tumpang kec. pesanggaran yang kabarnya membawa kesejahteraan rakyat dan sekarang mulai mengincar gunung-gunung dan hutan-hutan disekitarnya.
Karna dalih pembangunan, investasi, dan penyerapan tenaga kerja pula kawasan sengketa kampung bongkoran di kec. wongsorejo terkepung industri-industri besar, perumahan elit dan fasilitas penunjang seperti lapangan golf, pertokoan besar, termasuk jalan tol sebagai akses memaksa petani untuk bertetangga dengan industrialisasi
Atau para petani hutan di kec. songgon yang tergantung pada hasil hutan tapi tidak dapat kepastian mata pencaharian karena tanah-tanah dikuasai perhutani dan perkebunan warisan kolonial, begitupun juga yang terjadi di desa pakel tentang sengketa batas tanah desa dengan perkebunan.
Negara berada pada posisi dikotomis yang seharusnya membela rakyat dan mementingkan kepastian nasib rakyat malah memukul balik dengan mempercepat dan merevisi undang-undang.
*Tulisan ini sudah pernah di publis pada zonadialektika wordpress.com dan kembali di posting untuk kepentingan pendidikan