-->

Notification

×

Iklan

Iklan

Tag Terpopuler

TAK TEPAT, PEMBEKALAN TEKNIS EKSPEDISI DESTANA HANYA SEREMONIAL

Kamis, 11 Juli 2019 | Kamis, Juli 11, 2019 WIB | 0 Views Last Updated 2021-10-15T04:20:34Z


Berdasarkan Undangan Teknis Kegiatan Ekspedisi Desa / Kelurahan Tangguh Bencana (Destana) Nomor Undangan 103/BNPB/PDM/PK.02.03/07/2019, diketahui bahwa acara yang berlangsung pada 10-11 Juli 2019 tersebut berlangsung di 2 tempat, yakni 1) Kantor Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Banyuwangi. 2) Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Banyuwangi.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), ForBanyuwangi, dan Forum Komunikasi Mahasiswa dan Masyarakat Banyuwangi (ForkoMM) menilai, acara Ekspedisi Destana yang dipandegani Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) hanya agenda seremonial saja karena tidak secara langsung melibatkan warga yang berpotensi terkenak dampak serta luput dalam perhatiaan meninjau kawasan rawan bencana (KRB) terutama di wilayah kecamatan pesanggaran yang punya riwayat tragedi tsunami. terutama di 2 lokasi pantai yang berpotensi tsunami tinggi yang notabene berada di Pantai Pulau Merah Dusun Pancer, Desa Sumberagung, Pantai Rajegwesi Desa Sarongan Kec. Pesanggaran, Banyuwangi.


Ekspedisi Destana akan lebih memiliki maknanya jika dilakukan di Pantai Pulau Merah dan Dusun Pancer karena kedua tempat ini memiliki jejak kerusakan tsunami dan jejak kerusakan banjir yang disebabkan oleh kegiatan tambang emas yang ada. Pada 3 Juni 1994, tsunami telah menerjang pesisir selatan Banyuwangi. Tsunami seperempat abad lalu itu telah membuat Kampung Rajegwesi (Desa Sarongan, Kec. Pesanggaran) dan Dusun Pancer serta Pantai Pulau Merah mengalami kerusakan. Korban meninggal diperkirakan 215 jiwa.

Beberapa lokasi di pesisir selatan Banyuwangi ada yang selamat dari terjangan tsunami tersebut karena keberadaan Gunung Tumpang Pitu. Di mata warga, Gunung yang kakinya bersentuhan langsung dengan Samudera Indonesia ini tak hanya dipandang sebagai penanda arah pulang para nelayan, tetapi juga sebagai benteng alami dari daya rusak tsunami.

Namun sayangnya, Gunung Tumpang Pitu yang berfungsi sebagai benteng alami daya rusak tsunami tersebut fungsinya justru dirapuhkan dengan kehadiran pertambangan emas. Awalnya, gunung setinggi 450 mdpl tersebut berstatus sebagai hutan lindung. Gunung Tumpang Pitu masuk dalam Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Sukamade, Kec. Pesanggaran, Kab. Banyuwangi.

Untuk memuluskan rencana eksploitasi emas di Hutan Lindung Gunung Tumpang Pitu (HLGTP) , Menteri Kehutanan RI (yang pada saat itu dijabat oleh Zulkifli Hasan) lewat surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 menurunkan status Hutan Lindung G. Tumpang Pitu menjadi hutan produksi.  Luas hutan lindung yang diturunkan statusnya itu sebesar 1.942 hektar. Jika diperhatikan, dengan mengaitkan legalisasi penurunan status HLGTP oleh Menteri Kehutanan RI tersebut dengan keinginan korporasi tambang untuk mengeksploitasi emas Tumpang Pitu, maka tentulah mudah ditebak bahwa fungsi HLGTP akan diubah ke sebuah fungsi yang akan mendukung rencana penambangan emas. HLGTP yang awalnya berfungsi sebagai kawasan lindung, kawasan resapan air, dan kawasan penyangga kehidupan akan diubah fungsinya menjadi kawasan tambang yang justru mengancam air, mengancam pertanian, mengancam pariwisata, juga mengancam sumber-sumber kekayaan alam hayati lainnya yang dibutuhkan warga sekitarnya untuk melanjutkan hidup.

Penurunan status Tumpang Pitu dari hutan lindung ke hutan produksi yang tertuang dalam surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 lahir setelah adanya usulan penurunan status kawasan yang diajukan Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas. Dalam konsideran surat keputusan  Menteri Kehutanan RI Nomor SK. 826/Menhut –II/2013 pada bagian “menimbang huruf b” dengan terang-benderang berbunyi : bahwa berdasarkan surat Nomor 522/635/429/108/2012 tanggal 10 Oktober 2012 Bupati Banyuwangi mengusulkan perubahan fungsi kawasan Hutan Lindung seluas +/- 9.743, 28 (sembilan ribu tujuh ribu tujuh ratus empat puluh tiga dan dua pulu delapan per seratus hektar) terletak di BKPH Sukamade, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi menjadi Kawasan Hutan Produksi Tetap.

Sebelum mengusulkan penurunan status lindung Tumpang Pitu pada 10 Oktober 2012, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada tanggal 9 Juli 2012 menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) seluas 4.998 ha kepada PT Bumi Suksesindo (BSI) yang merupakan anak perusahaan PT Merdeka Copper Gold.

4 tahun kemudian, setelah status lindung Tumpang Pitu diturunkan, pada bulan Agustus 2016, banjir lumpur menerjang kawasan wisata Pulau Merah yang tepat berada di kaki Tumpang Pitu. Berdasarkan penuturan Ahmad (nelayan Kampung Pancer) kepada Walhi Jawa Timur, banjir yang terjadi pada pekan ketiga Bulan Agustus 2016 telah menutupi laut hingga 4 km dari bibir pantai. Menurutnya, hal ini baru terjadi setelah hadirnya tambang emas di kampung. Sebelumnya tidak pernah.

Tumpang Pitu dan sekitarnya adalah Kawasan Rawan Bencana (KRB). Tentunya untuk bersikap tepat terhadap KRB adalah meningkatkan kapasitas masyarakat, yang juga dibarengi upaya meng-konservasi benteng-benteng alami seperti Gunung Tumpang Pitu. Mengizinkan pertambangan di KRB adalah tindakan beresiko. Mengizinkan pertambangan di Gunung Tumpang Pitu berarti merapuhkan fungsi Tumpang Pitu sebagai benteng alami dari daya terjang tsunami. Karena hal inilah, Jatam, ForBanyuwangi, dan ForkoMM berpendapat, Ekspedisi Destana akan kehilangan maknanya jika pelaksanaannya hanya dilakukan di Kota Banyuwangi tanpa mendatangi langsung lokasi dimana jejak kerusakan tsunami dan jejak bencana industri itu berada sekaligus menggali kisah para korban terdampak. Apalagi, kini tak hanya Gunung Tumpang Pitu yang dieksploitasi. Gunung Salakan yang berada di sebelah Gunung Tumpang Pitu juga sedang berada dalam ancaman yang sama. Jika lewat PT BSI, Merdeka Copper Gold mengeruk Gunung Tumpang Pitu, maka kali ini lewat PT Damai Suksesindo (DSI), perusahaan yang dimodali oleh PT Saratoga Investama Sedaya Tbk dan PT Provident Capital Indonesia itu mengincar Gunung Salakan.

Bukannya jera dengan peristiwa banjir lumpur yang menerjang Pulau Merah pada tahun 2016, pemerintah justru menambah titik eksploitasi di pesisir selatan Banyuwangi dengan cara mengundang PT DSI di Gunung Salakan. Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas pada tanggal 10 Desember 2012 menerbitkan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi (IUP Eksplorasi) kepada PT DSI. IUP Eksplorasi ini tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Banyuwangi No. 188/109/KEP/429.011/2012. Surat tersebut kemudian diperbarui Bupati Banyuwangi pada 20 Januari 2014 lewat surat bernomor 188/109/KEP/429.011/2014. IUP Eksplorasi DSI ini memiliki luas sebesar 6.623 hektar. Jika IUP Eksplorasi DSI tersebut dijumlah bersama dengan luas IUP OP BSI, maka total seluruhnya sekitar 11.621 hektar. Ini artinya, pesisir selatan sebagai KRB tengah direntankan seluas 11.621 hektar. 


Berdasarkan pemikiran di atas, Jatam, ForBanyuwangi, dan ForkoMM menyatakan:

1. Mendesak Bupati Banyuwangi dan/atau pejabat yang memiliki kewenangan untuk mencabut IUP OP PT BSI dan IUP EP PT DSI.

2. Mendesak Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan mencabut surat keputusan Nomor SK. 826/Menhut –II/2013

3. Meminta BPNB tidak hanya fokus pada masalah hilir kebencanaan, tetapi juga menelisik masalah hulu bencana (mengevaluasi izin-izin yang menyebabkan berubahnya fungsi kawasan. Terutama berubahnya fungsi kawasan lindung menjadi area tambang yang telah terbukti menghadirkan bencana).

4. BNPB bersama Pemerintah bisa melakukan evaluasi izin-izin sebagaimana butir nomer 3 diatas dengan menggunakan landasan hukum Undang-Undang No 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.


Banyuwangi, Juli 2019
Jatam,
ForBanyuwangi,
ForkoMM
----------------------
Nomer kontak
Kepala BNPB 
Letjend Doni Monardo
+62 811-8885-888

Menteri LHK
Siti Nurbaya
+62 812-1116-061

Gubernur Jawa Timur
Khofifah Indar Parawansa
+62 811-8788-888

..........................

Narahubung
Jatam 
Merah Johansyah +62 813-4788-2228

ForBanyuwangi
Utsman Roudhal 08224429019
×
Berita Terbaru Update